Inspirasicendekia.com, MALANG – Tak ada salahnya kita belajar pada kepedulian terhadap sesama dari sosok Eka Wulandari (25). Dalam kondisi kurang beruntung seperti halnya orang kebanyakan, perempuan ini tetap kuat dan memiliki motivasi tinggi bergiat demi kesamaan dalam hidup bagi para penyandang disabilitas.
Ya, Eka Wulandari memiliki keinginan mulia dengan mengajak semua pihak lebih memiliki kepedulian pada para difabel. Ia menggagas terbentuknya komunitas dan organisasi difabel, yang diimpikan nantinya bisa berperan aktif dan menjadi wadah Difable Center bagi para penyandang disabilitas.
“Jangan ada diskriminasi pada kaum difabel. Penyandang difabel kalau diasah potensinya tetap bisa berguna bagi bangsa dan negara,” tegasnya.
Mimpi Eka ini bukan tanpa alasan. Ya, Eka sendiri sejak kecil terlahir sebagai penyandang tuna daksa. Karena kondisinya ini, ia kerap mengalami perlakuan yang dirasa diskriminatif di tengah lingkungan sekolah, bahkan orang-orang terdekatnya. Sejak duduk di bangku TK hingga SMP, anggapan sebelah mata terhadap kemampuan dan kondisinya hampir dialaminya tiap hari.
“Banyak diskriminasi saya alami. Saya bahkan sempat tidak diakui teman sekelas. Memasuki sekolah di SMA Muhammdiyah 2 Sumperbucung, baru saya merasakan diterima dengan lapang. Itu pun selama empat bulan menjadi siswa baru tidak ada teman, dan sempat mau keluar,” kenang Eka.
Eka Wulandari memang tidak mau sekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa). Sempat mengenyam pendidikan di SLB, ia cuma bertahan 2 bulan. Ini karena menurut analisa psikolog, dirinya masih cukup mampu dalam hal akademik dan menerima materi pelajaran.
Beruntung, Eka mengenal sosok bapak yang sangat mempedulikannya. Bripka Sanda Prasetyo namanya, anggota Polsek Sumberpucung, Resort Kabupaten Malang. Melalui kesabaran dan ketulusan Bripka Sanda, lambat laun Eka terus mendapatkan pengakuan dan diterima dimana-mana. Bagi Eka, sosok Bripka Sanda layaknya bapak yang menggantikan orang tua sendiri.
Meski harus berjalan dibantu tongkat, Eka Wulandiri kini mampu menunjukkan bahwa ia tak layak dikucilkan. Ia kini menjadi mahasiswa
Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya angkatan 2013. Ia diterima melalui tes seleksi. Di kampus ini, ia bertemu juga dengan dosen yang cukup menginspirasi dan memompa semangatnya.
“Selama SMP-SMA, Saya masih minder dan pikiran kurang terbuka. Setelah kuliah, baru muncul kebanggaan. Sempat sih mau resign kuliah karena kurang mendapat dukungan, tetapi tetap ada orang yang menguatkan saya,” imbuhnya.
Bagi Eka Wulandari, apa yang dialaminya semasa kecil, tak diinginkannya terjadi penyandang disabilitas lain yang bisa sekolah. Ia merujuk UU No 28/2016, bahwa penyandang disabilitas yang secara akademis masih mampu harus tetap sekolah.
“Yang mampu akademis, kalau bisa sekolahnya tidak harus di SLB. Kami berharap pemerintah dan orang tua juga tidak berperilaku diskriminatif,” tegasnya.
Ada setidaknya 136 anak penyandang difabel di wilayah tempat tinggalnya di Karangkates dan sekitar 550 orang di kecamatan Sumberpucung, yang coba diperjuangkannya bersama semua pihak, untuk mendapatkan perlakuan layak. Kini ia juga sedang menyiapkan buku ‘Aku Ketemu Polisi’. Buku ini adalah refleksi saking bermaknanya bantuan dan kepedulian seorang Bripka Sanda dalam kehidupannya sebagai penyandang disabilitas. [min]