inspirasicendekia.com, MALANG – “Sebentar lagi pasti ke sana, sobat. Ini selesaikan urusan kurang sedikit,” demikian pesan terkirim di gawaiku, malam itu. Pesan chatt ini dikirim seorang teman yang belum lama saya kenal sebetulnya, Pak Totok (50) panggilannya, dari nama lengkapnya Agustinus Heru Sumariyadianto.
Ketika saya melihat angka jam di gawai, setengah kaget juga. Sudah cukup malam ternyata, waktu saat itu menunjukkan pukul 10 malam lebih. Sempat berpikiran juga, kalau terlalu larut dan capek dengan kegiatannya, gak mungkin sepertinya jika harus dipaksakan tetap mampir ke rumah.
Karuan saja, sekitar pukul 22.50 WIB, Pak Totok dengan motor buntut yang biasa ditumpanginya kemana-mana sampai juga di rumah kami. Hari yang melelahkan sebenarnya, namun saya tetap mempersilahkan bapak ini dengan senang hati.
Kedatangan pak Heru Totok memang lebih didasari silturahim dan mungkin rasa empatinya. Kebetulan, kami hari itu sedang berduka. Saya harus kehilangan dan merelakan kepergian almarhum ibu mertua tercinta, setelah dua hari mendapatkan perawatan medis intensif, hingga menemui ajalnya.
Berbincang seperlunya seputar kondisi berat yang sempat teralami, kami berdua menghabiskan malam itu dengan sedikit santai. Saya yang mulai kelelahan, tidak melihat sedikitpun tidak nyaman dan kesan memaksakan diri pada pak Totok. Ketulusan dan empatinya, bisa tergambar dari cara berbicaranya, yang tetap semangat bercerita apapun hingga hampir dua jam tak terasa.
Siapa sebenarnya sosok pak Heru Totok? Sebatas yang saya kenal, karena memang masih beberapa bulan saja kenalinya, adalah orang punya empati sosial tinggi. Siapa sangka, ia sudah banyak terlibat dari kegiatan kerelawanan di berbagai tempat. Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, jangan ditanya juga kiprahnya.
Sempat ia bercerita belakangan, soal keterlibatan diri sebagai Relawan Tangguh satuan tugas (satgas) covid-19 Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Membantu pemulasaran jenasah pasien atau suspect positif covid-19 biasa dilakukannya. Sebagai relawan, setiap saat ia harus tetap siaga on-call, siap diajak terjun aksi kemanusiaan ini sewaktu-waktu.
Mengenal lebih jauh sosok pak Totok, semakin banyak yang membuat saya geleng-geleng kepala sekaligus bangga. Di paro baya usianya, sehari-harinya seperti dijalani tanpa berat hati. Langkah kakinya juga kerap jauh menjelajah, hingga pinggiran dan pelosok sekalipun. Semua berjalan dan dijalani apa adanya, tanpa keluh hati berlebihan.
Pandemi akibat virus corona yang mengepung keseharian kehidupan masyarakat kita selama berbulan-bulan, tidak lantas menjadikan ia acuh sekeliling. Di lingkungan tempat tinggalnya, keberadaan bapak satu anak ini cukup nyata. Nyaris tidak ada kabar dan aktifitas di kampung yang terlewat dari pantauan dan atensinya. Sehari-hari, Heru Totok tinggal dengan keluarganya di wilayah RT 18/RW 02 Kelurahan Cepokomulyo Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Padahal, bisa jadi keberadaan pria bongsor ini tidak selalu ada di wilayah permukimannya. Tak jarang ia jauh berada di tempat lain, bahkan berpindah-pindah tempat dalam sehari yang sama. Ibarat kata, membutuhkan seorang Heru Totok tidak bisa dipastikan posisinya, namun tetap terasa hadirnya meski ia entah ada dimana.
Jadi, jangan heran jika waktu aktivitasnya bisa lebih lama, bahkan bisa hampir penuh 24 jam. Karena pilihan sosial dan empati kemanusiaan yang melekat padanya ini pula, maka hal biasa bagi pak Totok tidak bisa berlama-lama menikmati quality time di rumah. Dalam sehari, ia bisa saja bolak-balik keluar masuk rumahnya.
“Setiap waktu harus bermanfaat, di rumah atau ketika harus di luar rumah. Terlebih jika ada yang membutuhkan dan bisa membuat orang lain senang, waktu terasa lebih bermakna,” dalam obrolan santai saya bersama Heru Totok di sebuah kedai kopi, Kamis (31/12/2020) pagi.
Bahkan, tak jarang istirahat dinikmatinya di luar di sela-sela kesibukannya, cukup dengan menikmati tempat santai seperlunya untuk sekadar mengusir lelah. Pengalaman semacam ini mengingat kondisi kehidupan dan keseharian keluarganya bisa dibilang pas-pasan dan seadanya. Sebagai orang dengan pekerjaan serabutan dan tidak berpekerjaan tetap, mengalami keadaan sempit dan sulit kerap dialami pak Totok. Sempat berminggu-minggu bahkan, ia pernah gak memperoleh penghasilan apapun untuk di bawa pulang.
Kondisi seperti ini memang diakui sedikit menganggu kontribusi sebagai relawan da aktivitas sosial lainnya. Jika lagi sepi penghasilan, biasanya sedikit dikurangi intensitas kegiatan kemasyarakatan yang harus diterjuninya, walau tetap diakuinya tidak bisa mandeg atau absen sama sekali.
Pak Totok pun tidak memungkiri sesekali mengalami titik jenuh. Tetapi kondisi seperti ini bisa cepat diatasi dengan mencari inspirasi baru. Cukup dengan menikmati suasana di alam terbuka, terlebih kebetulan ia menyukai travelling juga.
Akan tetapi, sekali lagi ia bukan tipe orang yang asosial dan antipati pada lingkungan sekitar. Semangat mendermakan diri bagi lingkungan ini diakuinya mewarisi keteladanan sang mendiang ayah, M. Jamil. Terjun di lokasi bencana dan menangani dampak yang ditimbulkannya bukan hal baru baginya, sudah pernah dilakoninya sejak tahun 1990-an. Selain menjadi anggota Relawan Tangguh Satgas Covid-19 kini, Heru Totok juga anggota aktif FKKPI, dan didapuk sebagai wakil ketua bidang Bela Negara FKPPI Cabang Kabupaten Malang.
Cita untuk Sesama yang Tak Pernah Surut
Sisi lain kehidupan seperti dialami sosok Heru Totok memang tidak jamak dialami kebanyakan orang lain. Berlatar belakang dari keluarga pensiunan militer dari sang ayah, selain keluarga sendiri ia juga masih bertanggung bagi keseharian ibu, isteri mendiang ayah, juga adik kandung.
Karuan saja, disiplin waktu cukup melekat dan terwarisi dalam kesehariannya sampai saat ini. Ketangguhan dan semangat juangnya juga kental terlihat sebagai pewaris sang bapak. Mengayomi dan kepedulian yang dimiliki pak Totok juga lah yang tidak banyak ditemukan pada kebanyakan orang lain.
Lebih dari itu semua, ada alasan kuat yang mendasari tingginya empati sosial seorang Heru Totok. Lebih-lebih mendapati anggota keluarga sendiri yang mengalami kekurangan, menjadikannya semakin kuat pada cita kemanusiaan dan kepeduliannya ini. Kebetulan, adik kandung yang juga menjadi tanggung jawabnya sehari-hari, ditakdirkan kurang beruntung karena mengalami keterbelakangan mental (down syndrome) bawaan sejak lahir. Sang adik yang kini sudah menginjak usia 47 tahun, punya tingkat kemandirian sangat lemah karena keterbelakangan bawaannya. Ini masih harus disertai resiko penyakit penyerta.
Sejak masih di bangku SMP pun, Heru Totok sebenarnya sudah punya harapan besar. Yakni, bagaimana saudara sesama yang mengalami kondisi kurang beruntung dalam segala keterbatasan yang dialami, juga tetap mendapat perhatian dan kebahagian seperti orang kebanyakan. Meski dengan kadar kebutuhan yang berbeda, sesama juga mendapati kebermaknaan dalam kehidupannya. Tidak terus mengalami kesempitan, apalagi keterpurukan sepanjang hidupnya.
Cita mulia Heru ini memang masih terus diperjuangkan dan baru sesekali saja ada kesempatan kecil mewujudkannya. Tetapi, cita yang sudah kuat tertanam ini bukan berarti sekadar angan-angan. Bisa dikata, ia masih belum bisa tidur nyenyak jika masih mendapati keinginannya tetap menggantung.
Menurutnya, perlu ada perhatian dan fasilitasi khusus bagi penyandang disabilitas kategori mental berat. Dalam perkiraan pak Totok, di lingkup wilayah kecamatan Kepanjen saja, setidaknya ada 20-an penyandang disabilitas sulit, dengan kondisi kemandirian sangat rendah ini. Perhatian lebih, kata Heru Totok, juga harus bisa lebih memberdayakan bagi kehidupan lebih baik. Bukan sekadar berbagi dan menyantuni (charity) yang sifatnya temporal atau sesekali waktu. Keadaan masyarakat yang seperti ini, perlu sumbangsih relawan selain intervensi negara dan pemerintah.
Bagi Heru Totok, kesenangan bergiat sosial kemanusiaan dan berbagi empati yang dilakoninya selama ini lebih dikuatkan juga dengan panggilan nurani. Ia mengaku bisa menghabiskan setidaknya 60 persen waktunya sejauh ini lebih termanfaatkan juga untuk kemasyarakatan. Pulang menikmati waktu di rumah cukup larut pun, tetap dinikmatinya dengan ikhlas karena kesibukan di luar pekerjaan utamanya.
Kepuasan batin dengan bersosial ini memang tak serta merta. Ia mengaku terkadang juga mengalami pergolakan batin, terlebih ketika dihadapkan pada tuntutan mendahulukan kepentingan keluarga. Sesekali ada titik cemas juga, ketika kadangkala untuk keperluan sendiri dan keluarga terganggu. Ya, ia pun harus pandai-pandai memosisikan diri dengan selayaknya dan seperlunya.
Pak Totok berprinsip, dalam kehidupan bermasyarakat sebisa mungkin bisa menyenangkan orang lain, meski dengan segala kemampuan dan keterbatasan diri yang dipunyai.
“Nilai kemanusiaan itu tinggi dan tak berbatas, jadi tidak pernah ada kata cukup berbuat. Meski belum bisa totalitas dan kadang mendapati pertentangan kecil, semoga tetap bisa bergiat kemanusiaan dan sosial. Sudah jadi kebiasaan, jadi mengalir dijalani saja,” tekad pak Totok.
Bisa memberi perhatian lebih dan mengurusi lebih khusus penyandang disabilitas masih menjadi cita-cita luhur Heru ‘Totok.’ Meski, ia mengaku alami kekhawatiran mendapat anggapan kurang positif memperjuangkan untuk kepentingan pribadi. Jadi, sejauh ini, ia lebih baik memaksimalkan dulu apa yang dipunyai.
Berbagi di Masa Pandemik, Jasa Ekspedisi lebih Dibutuhkan
Situasi pandemi memang menjadi masalah bersama kini, dan tak mungkin bisa diatasi sendirian oleh siapapun. Selain kerelawanan, kolaborasi aktif bersama unsur dan pihak lain menjadi hal yang tak bisa dinafikan.
Berbagi, memberi dan kerelawanan memang tidak terlepas dari urusan logistik dan aktifitas pendistribusiannya. Dalam konteks pandemi kini, banyak orang mengalami kesempitan waktu dan mobilitas, terlebih yang di lingkungan wilayahnya yang kebetulan harus diisolasi atau lockdown.
Pihak-pihak perorangan, organisasi ataupun korporasi, juga banyak terbangun empati situasional dan sosialnya selama masa pandemi kini. Banyak program CSR yang akhirnya dikeluarkan dan mengalir sebagai wujud berbagi, memberi dan menyantuni, yang menyasar terdampak pandemi covid-19 ini.
Heru Totok tetap berharap, CSR korporasi yang selama ini banyak support bagi pelayanan publik dan infrastruktur umum, lebih diperluas kontribusinya. Seperti, program yang lebih menyentuh kemanusian kalangan disabilitas dan sosial kemasyarakatan yang lebih memberdayakan.
Dalam konteks ini, keberadaan penyedia jasa ekspedisi seperti JNE lebih bisa dioptimalkan kontribusinya. Setidaknya, bisa juga diarahkan pada aspek pendistribusian logistik kemanusiaan atau membantu mengurangi mobilitas publik untuk mengurangi potensi persebaran dan penularan covid-19.
JNE juga bisa membantu penyadaran dan edukasi masyarakat melalui jasa ekspedisinya. Apa yang sudah diterapkan petugas ekspedisi ini bisa lebih ditingkatkan, dengan menjamin paket barang tetap aman dan sehat, dengan protokol kesehatan yang berlaku saat pengiriman sampai ke tangan penerima. (*)