Dunia persekolahan kita sekarang dihuni oleh empat lapis generasi. Lapis pertama adalah guru, pengawas, pejabat pengambil keputusan, dan perangkat administratif generasi babyboomers, yang rata-rata mereka berusia 50-60 tahun. Lapis kedua, mereka dari generasi X berusia 35-50 tahun. Lapis ketiga, mereka para guru muda yang sering disebut generasi Y atau millenial, yang rata-rata berusia 20-35 tahun, dan lapis keempat generasi Z, generasi anak didik yang berusia 6-20 tahun. Tahun depan akan disusul hadirnya Generasi Alpha yang sekarang masih balita. Tugas utama genarasi lapis pertama, kedua, dan ketiga adalah fasilitator bagi generasi lapis keempat.
Anak-anak yang sekarang duduk di bangku persekolahan itu adalah mereka yang lahir pertengahan 1990-2010. Selain disebut generasi Z atau Gen Z, mereka juga sering disebut digital natives, screensters, gamers, Zeds, atau ada juga yang menyebutnya generasi milenial. Sebagian dari mereka ini berada di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi. Lima tahun yang akan datang, mereka akan lahir sebagai Zeds pertama yang diprediksi bakal mengubah karakteristik dunia kerja.
Apa yang istimewa dari generasi guru baru ini? Mereka digambarkan sebagai Generasi Kreatif yang cerdas teknologi (tech-savvy), terhubung (connected) dalam kehidupan global di planet bumi, pengubah dunia, dan “nastiti” (conscientious). Sebuah survei yang dilakukan oleh Innovation Group (J. Walter Thompson Intelligence) menggambarkan bahwa mereka tidak gampang menetapkan dirinya sebagai pemain dari tipe peran tertentu, 80% menggunakan smartphone tiap hari, 73% memandang brand teknologi adalah penting bagi mereka, 65% masih menonton teve, tetapi 70% melihat konten YouTube lebih dari 2 jam tiap hari, dan 70% menggemari facebook dan media sosial sejenis.
Survei yang lain menggambarkan Gen Z adalah self starters. Sebanyak 42% mereka ingin melakukan sesuatu yang baru sebagai profesi untuk mengukir identitas dirinya, 31% ingin memulai bisnis dari kekuatan diri sendiri, dan 37% berharap bisa mengubah hobi menjadi pekerjaan utama (full time job).
Sejumlah riset juga menunjukkan otak Gen Z secara struktural berbeda dari generasi sebelumnya. Ini tidak ada hubungannya dengan soal genetika atau segala sesuatu yang berkaitan degan bagaimana kita menggunakan otak untuk merespon hal-hal di sekitar kita.
Darla Rothman (2014) menyebut otak mereka menjadi “jaringan kabel” yang canggih dan memiliki citra visual yang kompleks, karena bagian otak yang bertanggung jawab untuk kemampuan visual terkembangkan jauh lebih baik. Materi belajar visual akan lebih efektif.
Game interaktif, tugas projek kolaboratif yang menantang, dan sesuatu yang dapat mereka coba dan amati akan disenangi.
Evolusi Pendidikan
Ketika preferensi belajar generasi baru berubah secara dramatik akhir-akhir ini, konsepsi kita tentang guru, siswa, kurikulum dan pola interaksi guru-siswa-kurikulum, serta segala perangkat kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menyertainya dalam praksis pendidikan terasa tiba-tiba menjadi kedaluarsa. Sekolah makin terasa kedodoran merespon perubahan generasional ini.
Kalaupun ada kelas yang dilengkapi dengan fasilitas elektronik, sulit membedakan praktik pembelajaran dan manajemen kelas yang berlangsung di dalamnya dengan praktik pembelajaran dan manajemen kelas pertengahan abad 20. Praktik guru dengan panduan baku di tangan, siswa dengan buku teks yang seragam dari kementerian, dan ujian yang mengukur daya serap isi buku teks, masih dominan dalam sistem persekolahan kita. Misi pendidikan masih belum beranjak dari misi ketika para fasilitator pendidikan bersekolah di masa lalu. Para fasilitator di sekolah perlu segera menyadari bahwa anak-anak yang datang ke sekolah itu adalah generasi yang sama sekali berbeda dengan generasi mereka.
Dalam monografnya berjudul The Teachers of 2030: Creating a Student-Centered Profession for the 21st Century, Barnet Berry menggambarkan perubahan yang dramatik peran guru dalam praksis pendidikan di abad ini. Cara pandang bahwa misi pendidikan adalah menyiapkan anak didik untuk memasuki profesi tertentu pada jenis peran sosial yang sudah terstruktur di masyarakat akan segera usang. Tugas pendidikan akan berbalik menjadi lebih utama memenuhi kebutuhan perkembangan anak didik dalam menciptakan profesinya.
Mengapa demikian? Selain tuntutan generasional, Berry mencatat perubahan peran sekolah itu disebabkan oleh munculnya realitas baru tentang berubahnya ekologi belajar bagi siswa dan guru, mulusnya koneksi keluar-masuk dalam dunia sibernetik, dan makin meluasnya teacherpreneurism. Realitas itu telah hadir di tengah kehidupan kita sekarang.
Pandangan tentang tugas pendidikan dan guru ini benar-benar akan mengubah praksis pendidikan 180 derajat dari sebelumnya. Keberhasilan pendidikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya di abad ini akan ditentukan oleh kepiawaian guru dalam mengelola pembelajarannya seiring dengan munculnya realitas baru itu.
Perubahan cara pandang tentang pendidikan dan peran guru ini tidak lepas dari perubahan generasional yang sangat fenomenal di awal abad 21 ini. Implikasinya adalah, sudah barang tentu, praksis pendidikan kita perlu inovasi dan dinamika evolusi.
Paradigma Pembelajaran
Memperhatikan fenomena perubahan generasional itu, visi kurikulum pendidikan dengan model sekolah industrial yang berbasis pada definisi okupasional dan definisi peran sosial diprediksi bakal menurun popularitasnya. Paradigma kebutuhan belajar akan berubah dari memenuhi blueprint profesi manusia yang diturunkan dari definisi peran sosial bergeser ke aras menciptakan profesi yang berpusat pada keunggulan siswa.
Konsepsi terhadap guru, siswa, kurikulum dan pembelajaran, dan pola hubungannya juga akan berubah. Guru akan niscaya menjadi pebelajar sepajang hayat, menjalankan praktik profesional berlandaskan pada teori, menjadi bagian komunitas profesional, gemar eksperimental dan inovatif menggunakan teknologi informasi dalam pembelajaran, aktif dan reflektif dalam menjalankan tugas profesional, peduli mutu, otonomi dalam pengembangan profesi, dan efektif memperluas penggunaan teknologi informasi dalam pembelajaran.
Kurikulum dan pembelajaran dituntut lebih fleksibel, dinamis dan responsif, melayani keragaman siswa, dan asesmen yang mendidik melekat dalam pembelajaran. Juga, harus dipahami realitas siswa sebagai makhluk yang memiliki keingintahuan yang tinggi, suka kerja kolaboratif, imajinatif, kreatif dan inovatif, terbuka, dan memiliki kemampuan task-switching (multitasking).
Dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran, guru tidak bias lagi mengelak dari realitas keperbedaan modalitas belajar siswa. Guru harus melayani belajar siswa sesuai dengan kebutuhan mereka (customize), membuat bahan belajar digital, menyediakan data besar, dan merancang pembelajaran berbasis teknologi informasi.
Demikian juga layanan pembelajaran, di samping memperhatikan modalitas belajar dan customize, pembelajaran juga harus memberikan umpan balik cerdas (agility), dan layanan belajar kapan saja dan di mana saja. Dalam soal hubungan guru-siswa, guru dituntut piawai berperan sebagai inspirator, mentor, pembimbing, fasilitator, dan partner belajar.
Tantangan guru itu bukan lagi fatamorgana. Anak-anak penghuni rumah pendidikan sudah merajuk cara baru untuk memenuhi kebutuhan belajar mereka. Makin hari makin terasa ada ketegangan di sekolah akibat dari kesenjangan layanan kurikuler guru dengan preferensi dan modalitas belajar siswa.
Opini: Waras Kamdi (Teknolog pembelajaran, Universitas Negeri Malang)