Membincang silent majority, tentunya tak lepas dari kata dasar yang ada. Tiap kata ini juga memiliki arti atau makna sendiri-sendiri, dengan kandungan nilai yang dalam dan luas, dan bukan tanpa dasar.
Silent berarti diam, atau setidaknya tak banyak bicara. Dalam ajaran Islami, diam juga bernilai baik dan kerap dianjurkan. Karena, dengan lebih banyak diam, kita akan mudah terhindar dari perkataan yang salah, bisa menyakiti atau menyinggung orang lain.
Sementara, majority berarti jumlah kebanyakan, jamaah, atau kebersamaan. Mayoritas bisa berarti pula kecenderungan yang bisa menjadi kekuatan karena memang terbentuk dari kebersamaan atau jumlah yang tidak kecil.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tepatnya beberapa puluh tahun silam, istilah silent majority menjadi sebuah adagium yang mencerminkan sikap yang ‘lemah’. Di bawah kepemimpinan tirani rezim Orde Baru, silent majority ini melekat pada sebagian besar individu atau lembaga representasi rakyat yang terkebiri oleh kekuasaan.
Apapun yang mengemuka dalam pengelolaan kehidupan bernegara oleh pemerintah, bahkan yang menyimpang sekali pun, sikap para wakil rakyat ini pun bisa ditebak, setuju atau mendiamkan, karena sudah terkungkung dannterkondisikan dalambtempurung silent majority.
Bergantinya rezim dan dalam konteks kekinian, silent majority sepertinya tetap menjadi sikap dan pilihan laten. Namun, bentuknya jauh berubah, dan menggejala lebih massif menjalar pada semua lapisan masyarakat.
Ya, alih-alih memudahkan akses dan saluran komunikasi dan informasi, kecanggihan teknologi telah membentuk manusia menjadi the silent majorities. Sesama manusia kini tak lagi butuh bersusah payah bertemu dan bertatap muka, untuk menyampaikan maksud dan keinginannya. Cukup memainkan dua ibu jari, antar individi sudah bisa panjang lebar dan beribu-ribu kata untuk sekadar berkomunikasi.
Ada yang salah dengan cara komunikasi by alat komunikasi ini? Tentunya tidak. Tetapi, sadarkah kita bahwa sebenarnya kita telah menjadi silent majority? Kita memang tidak diam, namun banyak yang hilang, atau setidaknya ada yang tidak utuh, dalam aktivitas komunikasi ini. Apa saja itu?
- Silaturahmi langsung, yang banyak hikmah dan fadilahnya, pastinya menjadi berkurang. Bandingkan dengan ngobrol bareng secukupnya atau ketika dilakukan dengan bertamu ke rumah.
- Pesan tetap bisa diterima tidak utuh, salah paham alias multitafsir. Ini biasanya terjadi jika kita gagal fokus atau mungkin tipe sensitif (baper). Apalagi, bagi pribadi dengan kecenderungan yang sok sibuk, menjelaskan ulang maksud dalam pesannya kerap ogah-ogahan.
- Pesan sms, bbm, whatsapp, line, dll, kering dengan ekspresi penutur. Maksud hati sekadar basasi atau guyonan, bisa jadi diterima serius dan salah paham.
- Tidak sehat. Dalam komunikasi langsung, kita bisa tertawa, intonasi lirih atau keras, atau menunjukkan pujian dan apresiasi. Tentunya, secara teori hal tersebut sehat. Sebaliknya, dgn komunikasi media cenderung diwakilkan dengan gambar-gambar emoticon.
- Banyak bahasa ‘Planet’. Alih-alih menulis singkat, komunikasi lewat media kerap terjebak pada kata-kata dan akronim alay, yang bisa jadi menjadikan kita terasing Diksi dan Bahasa Baku yang benar sesuai kaidah bahasa Indonesia.
Akhirnya, tetap saja kita terkungkung menjadi silent majority di dalam kecanggihan alat komunikasi digital yang notabene tanpa batas jangkauannya. Jika demikian halnya, ternyata manusia bisa jadi tetap mengalami kemunduran. Barangkali begitu?
Opini: Choirul Ameen