Guru Honorer Kini, Masih Terseok di Jalan Panjang ‘Mimpi’ Kesejahterannya!

Catatan Choirul Amin*

Rudi (40), sebut saja begitu, tampak menunggu notifikasi masuk di ponselnya. Masih bersepatu, dengan kemeja rapi, sambil menikmati secangkir kopinya. Jaket seragam ojek online menutupi baju seragamnya. Hari itu belum lewat setengah hari.

Pria ini memang seorang ojol. Tetapi, profesinya sehari-hari juga menjadi seorang guru honorer di sekolah dasar di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mengantarkan penumpang ojol, atau pesanan order online dilakoninya, untuk tambahan kebutuhan hidup keluarga. Honornya dari mengajar belum cukup memenuhinya.

Ilustrasi di atas bukanlah rekaan, melainkan fenomena yang nyata-nyata dialami guru honorer kita. Tidak semua honerer mengalaminya memang. Akan tetapi, ini adalah pilihan terpaksa yang harus dijalani. Nasib guru honorer masih terhimpit berbagai ketidakpastian dan kesenjangan berkepanjangan.

Jeritan suara puluhan ribu honorer guru di Tanah Air sudah kerap terdengar. Lebih dari sepuluh tahun terakhir, tepatnya sejak 2008 lalu, suara mereka membuat terngiang telinga pemerintah. Bahwa, honor yang mereka dapatkan dari mengajar belum layak, dan itu bukan omong kosong. Aspirasi mereka sudah kerap disuarakan keras-keras hingga gedung parlemen dan pemerintahan.

Beberapa tahun silam, akal waras honorer sebagai pendidik anak banga ini hampir saja terkubur. Rencana aksi mogok masal sempat di ubun-ubun mereka. Saking kuatnya bertekad, agar kesejahteraan mereka lebih diperhatikan negara lebih adil. Sebagai warga negara, mereka juga punya mimpi dan harapan besar, bernasib lebih mapan daripada sebelumnya.

Tetapi, guru honerer kita masih punya nurani dan akal sehat. Sadar menjadi pendidik yang akan selalu diteladani anak didik, maka gejolak batin mereka bisa diredam. Karuan saja, harapan besar bangsa Indonesia masih digantungkan pada mereka, mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa bagaimanapun kondisi dan latar belakangnya.

Sudah adilkah perhatian dan penghargaan yang diberikan negara? Ini yang selalu ditanyakan guru honorer  hingga kini. Ya, kepastian kebijakan yang lebih adil dan mensejahterakan yang tiap saat ditagih mereka dari pemerintah. Tercatat, setidaknya ada 1,75 juta jumlah guru honorer se Indonesia, atau sekitar 52,1 persen dari lebih dari 3,3 juta guru di Tanah Air.

Hingga kini, guru honorer se Indonesia terus menyuarakan harapannya. Perjuangan ini juga mendapat pengawalan lebih serius. Terutama, dari pihak Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, melalui Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer yang diketuai Tamsil Linrung. Tak ketinggalan pula, dukungan berbagai asosiasi yang menaungi keberadaan guru yang ada.

Jika dirunut, sebenarnya bukan tidak sama sekali ada perhatian pemerintah. Setidaknya, melalui kebijakan pengangkatan Guru Bantu sejak 2005 silam. Lalu, berlanjut dengan mekanisme rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK) bagi honorer pertama kali pada 2019 lalu.

Akan tetapi, dibandingkan dengan kebijakan bagi sejawatnya yang lain, seperti guru ASN atau guru swasta, masih jauh tertinggal. Kebijakan sertifikasi guru misalnya, sejak pertama pada 2006 sampai berakhir 2009 lalu, tak bisa dinikmati guru honorer di sekolah negeri. Alasannya, mereka tidak bisa memenuhi persyaratan diangkat atau mendapat penugasan dari pemerintah.

Guru honorer memang masih dihargai, namun ini lebih banyak sekadar menyenangkan dan kondisional. Honorer cukup mendapatkan insentif tambahan secukupnya, sementara guru lainnya sudah bisa menikmati tunjangan tetap sebesar gaji pokok atau sesuai penghitungan inpassing. Mirisnya, tidak semua guru honorer di semua daerah bisa menikmati hal yang sama.

Pemerintah sudah responsif membuat kebijakan bagi honorer. Tetapi, belum cukup kuat mendesakkannya menjadi sebuah kepastian di daerah. Kalaupun sudah mengeluarkan, tidak jarang itu masih lambat disikapi di bawah. Kondisi ini bahkan bisa berlarut-larut, membuat harapan honorer terus tergantung, bahkan harus terbelenggu pilihan: bisa mengikutinya atau tersingkir jika tak mematuhinya.

Contoh kondisi ini banyak sekali. Ketika Kemendikbud mengharuskan semua guru di sekolah negeri punya SK kepala daerah untuk bisa sertfikasi, honorer kelimpungan. Syarat ini harga mati, sementara pemerintah daerah bergeming, kukuh tak serta merta menerbitkan SK bagi mereka. Alasannya, ada konsekuensi hukum dan penggajian yang mengikat jika honorer diangkat dan setara pegawai pemerintah.

Di Kabupaten Malang misalnya, puluhan tahun guru honorer dibuat mati kutu akibat belenggu ini. Keberadaan mereka nyata dibutuhkan dunia pendidikan, sementara pengakuan status (kepegawaian) tak sepenuhnya jelas. Mirisnya, dua kali suksesi kepala daerah kondisi mereka justru menjadi komoditas kontestasi politik, selalu dijanjikan SK yang bisa diberikan.

Harap-harap cemas selalu membayangi sekitar 7 ribu guru honorer selama mengabdikan diri di sekolah negeri. Guru honorer selalu memotivasi anak didiknya untuk bercita-cita tinggi, sementara mereka sendiri sulit bermimpi untuk kesejahteraan nasibnya. Sebagian, bahkan sudah menguburnya. Miris!

Selama dalam penantian panjang ini, honorer memang tetap mendapatkan perhatian daerah. Menambah honornya yang kecil dan masih belum layak, sejak lima tahun terakhir mereka diberi bantuan insentif setahun sekali. Besarnya tak seberapa, itupun belum merata tidak semua dapat.

Agar lebih manusiawi, guru honorer di Kabupaten Malang juga difasilitasi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Tetapi layanan yang didapatkan terbatas, hanya tertanggung jaminan kecelakaan kerja dan sakitnya. Seberapa besar kemanfaatannya bagi perbaikan kesejahteraan guru sepenuhnya? Masih sangat kecil sekali.

Terakhir, di awal-awal tahun 2021 ini, guru honorer kembali mendapatkan ‘angin surga’. Surat Perintah Tugas (SPT) diperoleh dari kepala dinas pendidikan setempat dengan dicicil. Jumlahnya tak lebih 200 orang, masih kurang dari 10 persen dari total guru honorer yang ada.

Terbitnya SPT Kepala Dinas ini belum sepenuhnya melegakan. Nyatanya, isinya hanya semacam keterangan bahwa pemilik SPT memang benar-benar guru honorer, dengan NUPTK, dan masuk daftar penerima insentif guru dari daerah lengkap dengan nominal yang diterima.

Lambannya respon pemerintah perlu disikapi. Contoh terbitnya SPT di atas bisa jadi catatan, diberikan setelah bertahun-tahun saat program sertifikasi guru sudah berakhir. Seperti sia-sia memang. Atau, persyaratan baru vaksinasi bagi calon peserta PPPK. Jika vaksinasi terlambat, sementara sudah lewat batas akhir pemberkasan, apa boleh buat? Percepatan vaksinasi COVID-19 tak serta merta menjamin memudahkan kesempatan tersebut.

Ya, jalan panjang ini harus dilalui guru honorer untuk benar-benar sejahtera. Ditambah masih banyak ketidakpastian yang terus membayang-bayangi pengabdian mereka. Jalan panjang tanpa kepastian ini melelahkan honorer, membuat mereka terseok-seok. Sebagian mereka putus asa, atau setidaknya kerap mengalami jenuh. Bagi yang tidak cukup kuat, mudah saja ini menyebabkan mereka meninggalkannya.

Pada saat yang sama, guru honorer juga terus dihadapkan berbagai tuntutan kinerja terbaik. Segala kebijakan dan situasi nyata di sekolah harus bisa disikapi. Meskipun, penyesuaian ini juga kerap menyulitkan dan memunculkan berbagai kesenjangan.

Ketimpangan lain juga masih dialami guru, sebagai ujung tombak penyelenggaraan pendidikan. Kesenjangan terjadi, antara tuntutan kinerja profesional dengan fasilitas dan penunjang yang harus didapatkan. Akses dan ruang bagi pemenuhan kinerja profesional, belum didapatkan secara merata dan memadai dalam menjalankan pengabdiannya.

Tuntutan profesional dan dedikasi adalah hal pasti bagi setiap guru. Beban/muatan kurikulum, jam kerja dan mengajar, menghadapi masalah belajar anak, assesmen hingga pengembangan bakat personal siswa menjadi kewajiban yang harus dipenuhi. Ditambah lagi, keharusan tugas tambahan atau kewajiban pengembangan keprofesian, juga tidak bisa dielakkan semua guru.

Daya dukung dan prasarana penunjang juga dibutuhkan guru. Bahkan, ini sangat vital dan tidak bisa disepelekan. Agar supaya tuntutan kinerja bisa benar-benar dipenuhi dan tugas mengajar mampu dijalankan dengan profesional dan penuh dedikasi. Belum lagi, kinerja dan keteladanan baik seorang guru harus selalu ditunjukkan, sebagai panutan untuk pembiasaan baik anak didiknya.

Negara harus selalu bisa hadir, juga semua stakeholder di daerah, di saat guru honorer masih terseok-seok di jalan panjang yang masih harus dilewatinya. Jangan sampai guru honorer terhenti di simpang jalan, tak sanggup melanjutkan perjuangan begitu melelahkan ini. Kesenjangan kesejahteraan kerap menjadi ujian berat bagi loyalitas dan totalitas pengabdiannya, dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.

Jika memang rekrutmen melalui kebijakan PPPK sementara ini, menjadi pintu masuk satu-satu untuk mengangkat nasib honorer, maka ini juga belum final. Masih banyak yang perlu dikaji ulang untuk lebih disederhanakan prosesnya. Harus bisa mengakomodir kesulitan yang dialami honorer. Ingat, ada guru honorer usia kritis, tak bisa penuhi kualifikasi setara sarjana, atau bahkan tengah berjuang dengan penyakit kronisnya.

Menjadi guru itu tentunya tulus, sabar, dan penuh kesetiaan mengabdi. Jika masih saja terganggu pengabdian guru honorer, karena belum sejahtera dan masih memikirkan kebutuhan kesehariannya saat mengajar, sejatinya mereka belum merdeka. Pikiran yang terpecah, akan mengusik fokus dan ketenangannya mendampingi belajar anak-anak kita.

Singkatnya, masih ada mimpi kuat untuk lebih sejahtera bagi guru honorer kita. Mimpi yang sejatinya bisa menjadi penguat loyalitas dalam pengabdiannya. Mimpi yang bisa menjadi motivasi dan optimisme di tengah beratnya beban di pundak mencerdaskan anak bangsa. Harapan lebih sejahtera belum sepenuhnya didapatkan honorer. Ini menjadi tanggung jawab negara dan kita semua untuk turut mewujudkannya.

Wallahu a’lam! (*)

Sebarkan berita:

About Choirul Amin

Founder PT. Cendekia Creatindo

View all posts by Choirul Amin →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *