KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI kembali mencetuskan terobosan baru. Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kini bakal lebih fleksibel, sehingga akan mungkin lebih efektif dan menguntungkan pelaku pendidikan.
Adakah kebijakan baru ini sepenuhnya menguntungkan pelaku pendidikan? Dalam Siaran Pers melalui laman resminya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyatakan, kebijakan penggunaan dana BOS kini dibuat fleksibel, juga sebagai langkah awal untuk meningkatan kesejahteraan guru-guru honorer.
Mendikbud Nadiem Makarim mengklaim, penggunaan BOS sekarang lebih luwes disesuikan untuk kebutuhan sekolah, bahkan bisa meningkatan kesejahteraan guru-guru honorer dan juga untuk tenaga kependidikan.
“Setiap sekolah memiliki kondisi yang berbeda. Maka, kebutuhan di tiap sekolah juga berbeda-beda. Dengan perubahan kebijakan ini, pemerintah memberikan otonomi dan fleksibilitas penggunaan dana BOS,” demikian Mendikbud Nadiem Makarim, dalam kesempatan konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/2/2020).
Terkhusus pembiayaan personal dari dana BOS, disebutkan bisa ada kenaikan porsi hingga 50 persen. Peningkatan cukup signifikan dari persentase sebelumnya yang hanya 15 sampai 20 persen.
Kebijakan menaikkan porsi pembiayaan untuk kesejahteraan honorer atau guru dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT) membuat lega sekolah/madrasah, terutama yang memiliki honorer sangat banyak. Honor rata-rata Rp 500 ribu sampai 800 ribu perbulan, memang cukup sedikit. Terlebih, masih banyak GTT/PTT yang bahkan menerima honor kurang dari Rp 400 ribu/bulan.
Tapi tunggu dulu, kebijakan Mendikbud NM dalam BOS 2020 ini, tidak serta merta bisa membuat honorer lega. Nyatanya, di Kabupaten Malang misalnya, dari 7 ribu tenaga honorer guru, masih ada sekitar 5 ribu lebih yang belum memiliki NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan), sebagai syarat mendapatkan honor dari dana BOS.
Pengurus Forum Komunikasi Honorer Kategori II Indonesia Kabupaten Malang berharap, ada kebijakan daerah yang bisa memperkuat pengakuan keberadaan GTT/PTT, sehingga kebijakan pusat untuk mereka bisa direalisasi dan menguntungkan semua pihak.
Hampir lima tahun terakhir, forum honorer di Kabupaten Malang terus menyuarakan harapannya mendapatkan SK Bupati. Namun, pemkab Malang tidak lantas mengabulkan, dengan dalih tidak ada dasar hukum yang mengaturnya.
Mendapatkan NUPTK juga tidak serta merta mudah, karena ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi guru. Diantaranya, harus sudah mengajar minimal 5 tahun dan berkualifikasi pendidikan S1.
Selain porsi pembiayaan personal yang bisa meningkat, kebijakan BOS baru juga memberi porsi pengadaan buku yang lebih besar.
Nah, keleluasaan ini akan sangat tepat pastinya, jika dibarengi dengan pengawasan pemanfaatan BOS lebih ketat. Bagaimanapun, pengalaman pengadaan bahan ajar berupa buku tidak lah mulus. Terlebih, jika pengadaan dilakukan secara tidak tepat oleh oknum yang kurang bertanggung jawab.
Beberapa tahun awal BOS diberlakukan, sempat mengemuka praktik tak baik dalam pengelolaan dana BOS. Terlebih pada pengadaan buku misalnya, sangat mungkin terjadi praktik koruptif, bahkan fiktif, dengan memanfaatkan kerjasama pihak rekanan pengadaan buku.
Kebijakan BOS 2020 juga terjadi kenaikan satuan biaya tiap peserta didik. Untuk SD yang sebelumnya Rp800.000 per siswa per tahun, naik menjadi Rp 900 ribu per siswa per tahun. Untuk SMP dan SMA masing-masing naik menjadi Rp 1.100.000 dan Rp 1.500.000 persiswa.
Bagi sekolah, terutama jenjang SD dan SMP kecil, kenaikan satuan biaya Rp 100 ribu/siswa dan fleksibilitas peruntukan bagi pembiayaan personal dana BOS, diharapkan bisa menggairahkan kegiatan yang juga mampu menumbuhkan minat, bakat dan kreativitas siswa. Karena kebutuhan pembelajaran akademik relatif tercukupi, maka sekolah dan guru harus pandai-pandai memaksimal kecerdasan dan bakat semua siswa. [*]