Masih belum lekang dalam ingatan publik, kasus pemidanaan Nurmayanti Salam, guru SMPN 1 Bantaeng, yang harus merasakan berada di balik jeruji besi tahanan, setelah dilaporkan orang tua yang tidak terima karena anaknya mendapatkan perlakuan ‘pelajaran’ dicubit di kelas. Atau yang baru-baru ini saja, seorang guru perempuan yang harus menerima perlakuan tak sepantasnya, dipotong rambutnya setelah ia memberikan hukuman memotong rambut siswanya yang dianggap terlalu panjang.
Atau, yang belum lama ini menimpa seorang oknum guru sebuah SMAN favorit di Kabupaten Malang, yang akhirnya dimutasi setelah melakukan tindakan pelemparan sepatu kepada siswa.
Fenomena menyalahkan, mencaci, memberi sanksi, bahkan memidanakan guru yang dianggap telah melakukan tindak kekerasan di sekolah, seperti sikap latah yang tengah menggejala pada sejumlah kalangan masyarakat yang merasa tidak puas dengan sistem dan proses pendidikan kita. Sikap latah ini seperti dengan gampangnya ditujukan pada guru yang mungkin khilaf atau sekadar ingin menegakkan disiplin pada anak didiknya. Sikap latah ini pula yang seakan meniadakan bagaimana susah payahnya seorang pendidik dalam upayanya membentuk generasi cerdas dan berpekerti luhur.
Baca Juga:
Tren Belajar Generasi Kreatif
‘Silent Majority,’ Bahaya Laten yang Belum Bergeser
Reaksi yang agak berlebihan pun muncul di kalangan pendidik sendiri. Merasa mendapatkan perlakuan tidak adil karena selalu disalahkan jika harus tegas menghukum siswa, para guru di sebuah daerah pun wadul pada anggota dewan setempat. Menurut mereka, lebih aman bekerja sekadar mengajar, daripada harus memikul tanggung jawab sekaligus menjadi seorang pendidik dan pembina. Peran yang menurut mereka justru bisa membebani dan mengandung resiko untuk dipersalahkan publik.
Belakangan, kalangan pendidik seakan mengkampanyekan dan ingin membuka mata setiap pihak, bahwa mereka juga bekerja dilindungi aturan perundangan. Penggalan informasi Peraturan Pemerintah No 74 Tahun 2008, pasal 39, 40, dan 42, pun berseliweran, menjadi semacam klarifikasi bahwa apa yang mereka lakukan untuk lebih tegas dan disiplin dalam mengajar tidak semata salah dan benar adanya.
Pun, alih-alih melindungi guru sekaligus siswa dari perlakuan kekerasan, Mendikbud Anies Baswedan melalui Biro Hukum Kemdikbud mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan setiap sekolah memiliki gugus tugas anti kekerasan. Gugus tugas ini nantinya diharapkan bisa menjamin pelayanan pendidikan tetap ramah dan tetap manusiawi.
Semua upaya atas nama membebaskan pendidikan dari kekerasan di atas tentunya sah-sah saja dan bagus adanya. Tetapi, lagi-lagi, jika semuanya didasari atas latah atau reaksioner atas persoalan yang mengemuka, maka bisa jadi kurang makna. Pendidikan tanpa kekerasan adalah keniscayaan. Semoga!
Opini: Choirul Ameen