Judul: GLENMORE Sepetak Eropa di Tanah Jawa
Penulis: Arif Firmansyah, dan M. Iqbal Fardian
Penerbit: HISTORICA GLENMORE
Tahun: Desember 2019
Tebal: viii + 116 halaman
Peresensi: Moch. Arif, Penikmat buku.
PERISTIWA yang terjadi di suatu desa bukan tidak mungkin bertalian, langsung maupun tidak langsung, dengan peristiwa yang terjadi di desa lain. Begitu ungkap Dwi Cahyono, Arkeolog asal Kota Malang dalam Wanwacarita, tentang Kesejarahan desa-desa di Kota Malang, yang terbit 2012 silam.
Begitu juga penamaan sebuah daerah, biasanya terkait dengan peristiwa yang menyejarah atau kekhasan daerah tersebut. Semisal Pecinan, tempat bermukimnya etnis Tionghoa di beberapa daerah. Atau juga Kauman dan Meduran yang merujuk pada etnis Arab dan Madura.
Ada juga yang berdasar pada peristiwa semisal Pasuruan yang bersumber dari perubahan bunyi pasar uwong, pasuruhan, pesuruan, (Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, diterbitkan Lentera Dipantara, 2005).
Bertolak dari hal tersebut, nama desa Glenmore di kabupaten Banyuwangi sangat menarik untuk ditelusuri. Sebagai nama desa, Glenmore memiliki daya tarik yang kuat. Selain memang berbeda dengan nama-nama desa yang ada di gugusan Nusantara, Glenmore juga masih menyimpan jejak peninggalan era Kolonial hingga kini.
Buku Glenmore, Sepetak Eropa di Tanah Jawa, meski disusun dengan metodologi penulisan sejarah yang baku, akan tetapi disampaikan dengan gaya bertutur yang ringan dan naratif. Sehingga, kita sebagai pembaca seolah sedang teribat dalam setiap upaya penggalian datanya. “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita,” meminjam ungkapan Andreas Harsono, dalam kata pengantar pada buku Jurnalisme Sastrawi, KPG 2008.
Upaya melibatkan pembaca juga dilakukan penulis sampai pada ranah emosional, dalam ‘Antara Kebanggaan dan Kebimbangan’.
Mereka yang lahir dan tumbuh kembang di Glenmore, tentu memiliki kebanggaan tersendiri dengan nama kota kelahirannya ini. Selain menjadi satu-satunya kecamatan di Indonesia yang memakai istilah asing, nama Glenmore ternyata juga dipakai di beberapa negara (hal. 6).
Sebaliknya, yang menjadi ganjalan bagi warga desa Glenmore, juga pembaca pada umumnya, adalah tentang asal usul dan makna tersebut. Apalagi, dari hasil penelusuran penulis kosa kata Glenmore tidak ditemukan dalam satupun nomenklatur, baik dalam bahasa Inggris maupun Belanda. Sementara, dua bahasa asing yang dominan dalam serapan Bahasa Indonesia, baik dalam bentuk utuh maupun perubahan bunyi.
Fakta menarik lainnya adalah, ternyata kata Glenmore sebagai nama tempat juga digunakan di bentangan bumi dalam empat benua, mulai Eropa, Amerika, Asia, hingga Australia. Setidaknya ada 15 kota yang menggunakan nama Glenmore. Sebanyak 9 kota berada di Amerika Serikat, 4 kota di Irlandia, 1 kota di Inggris, dan 1 kota kecamatan di Indonesia. Ya, kecamatan Glenmore di Banyuwangi merupakan satu-satunya nama Glenmore di Indonesia maupun Asia. (hal. 11)
Menililk fakta tersebut, muncul pertanyaan apakah kesamaan nama di 15 tempat tersebut juga memiliki karkater yang sama, seperti yang jamak ada di kota-kota di Indonesia semacam Sawahan, Pecinan, Kauman, dan Maduran?
Menjawab pertanyaan tersebut, penulis dengan tetap dengan gaya bertutur mengajak kita menyelami kontur daerah Glenmore yangn ada di Banyuwangi. Gambaran suasana gunung Raung yang asri, hijau dan sejuk digambarkan begitu deskriptif dan detail. Begitu juga, ketika sampai pada penelusuran tokoh-tokoh di dalamnya.
Rumah dengan daun pintu dan jendela bermotif Jawa klasik itu masih berdiri tegak di tengah pekarangan yang sangat luas. Puluhan pohon seperti memagari rumah yang sudah lama tidak dihuni itu. Cat dinding warna putih tampak mengelupas …. (hal. 35).
Berbeda dengan pengungkapan asal-usul dan makna nama daerah lain, yang cenderung berselimut mitos dan peristiwa heroik, Glenmore justru memiliki jalan cerita yang panjang dan menarik. Salah satunya, adalah hadirnya tokoh-tokoh perantau yang berasal dari daerah yang berjarak ribuan mil. Persahabatan Mbah Yasin, tokoh aristokrat lokal, dengan investor perkebunan asal Skotlandia bernama Ros Taylor pada tahun 1908, menjadi kunci bagi kotak pandora Glenmore.
Selanjutnya, lereng gunung Raung yang asri menjadi penopang yang kuat bagi perekonomian pemerintah Hindia Belanda dengan komoditas perkebunan, antara lain kopi, kakau, dan karet. Tentang bagaimana nama Glenmore pertama kali dan resmi digunakan sebagai nama tempat tersebut, silakan lihat secara lengkap di halaman 45 buku ini.
Kemajuan Glenmore inilah yang kemudian menarik sejumlah pendatang yang mewarnai perkembangan masyarkat Glenmore di kemudian hari. Sehingga muncul tokoh seperti Mbah Diun dengan koloni Mediunan, juga ada kampung Mataraman yang diisi kaum migran dari Yogyakarta dan Solo. Tidak ketinggalan, etnis Madura yang ikut mewarnai dalam mozaik Glenmore yang semakin plural.
Pendatang dari Madura yang memasuki Glenmore diperkirakan terjadi mulai 1910 sampai tahun 1920, seiring beroperasinya Perkebunan Glenmore.
Masuknya etnis Madura meninggalkan jejak kekhasan kuliner yang tidak bisa dijumpai di daerah lain, yaitu lontong campur. Hasil dari olah kreatif yang menggabungkan resep asal leluhur mereka di Pamekasan dan lidah lokal yang beragam.
Kemajuan Glenmore yang berangsur menjadi sebuah kota juga tampak dari sisa-sisa bangunan yang ada. Mulai dari stasiun Kereta Api, kabel telepon yang membentang di sela pepohonan yang rimbun, hingga bangunan kantor pos.
Puncak kemajuan kota Glenmore ketika William Daendels membangun jalan raya pos sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan, pada 1809.
Sebelumnya pengiriman dokumen antar provinsi membutuhkan waktu setidaknya 40 hari. Setelah jalan pos selesai, pengiriman dengan jarak yang sama menjadi 6 hari. Sebuah lompatan yang luar biasa dan tidak banyak berubah hingga kini.
Kelengkapan data dan gaya penulisan yang naratif, menjadikan buku ini sangat lengkap. Tampak sekali riset yang dilakukan tidak main-main, selain kajian pustaka dan wawancara juga dilakukan dengan banyak tokoh dengan rentang waktu penggarapan yang panjang.
Menikmati buku ini kita bukan saja mendapat informasi tentang asal-usul sebuah daerah. Lebih dari itu sajian data tentang kesejarahan sejak era Blambangan hingga kemerdekaan memberikan kita asupan kognitif yang padat. Mulai dari karakter masyarakat, kondisi geografis berikut potensinya, sosial budaya hingga kulinernya. Semua disajikan dengan gaya yang ringan dan lengkap. [*]