Full Day School, Menjadikan Sekolah Komunitas Belajar, Mampukah?

Full Day School, Menjadikan Sekolah Komunitas Belajar, Mampukah?

Gagasan Baru dari setiap pergantian Menteri Baru bisa jadi indikasi sulitnya menjadi Menteri, terutama menerjemahkan kebaruannya sebagai menteri atau policy makers. Seolah-olah mengganti menteri akan memperbaiki akar masalah sistem pendidikan nasional.

Nyatanya, akar masalah sistem pendidikan kita bukan pada kebijakan, sehingga gonta ganti kebijakan akan serta merta memperbaiki sistem pendidikan. Akar masalah sistem pendidikan kita ada pada implementasi dan pengawasan kebijakan yang sudah ada. Terlebih pada jaminan integritas dan komitmen yang mampu betul-betul manjadi kendali dalam membangun pendidikan yang dicitakan, seutuhnya dan berdaya saing.

Menerapkan fullday school (FDS) mungkin sah-sah saja, alih-alih untuk menjadikan peserta didik lebih fokus belajar dan membatasi ruang bagi mereka untuk melakukan kegiatan yang tidak penting, apalagi cenderung negatif. Bisa jadi, FDS mengadopsi pendidikan berbasis pondok (boarding school) yang memang bisa membuat peserta didik lebih ‘berisi’, memiliki lebih banyak pengetahuan.

Pertanyaanya kemudian, jika FDS diterapkan sepenuhnya, maka sekolah/madrasah haruslah bisa menjadi lingkungan komunitas belajar yang nyaman, ramah, dan tetap menyenangkan. Sebuah teori psikososial menyebutkan, lingkungan bisa membentuk dan memprakondisikan pribadi-pribadi yang ada di dalamnya. Apakah sekolah mampu menghadirkan iklim sikap positif belajar dan motivasi berprestasi siswa? Ini lah tantangannya!

Nah, soal sekolah ramah, nyaman dan menyenangkan, tentunya tidak mudah mewujudkannya. Tak sebatas sarana dan prasarana fisik, ketiga hal ini juga harus melekat dan bisa dimunculkan dari pendidik. Dengan kata lain, jam kerja dan belajar yang lebih lama, berkonsekuensi banyak hal. Guru dan pihak sekolah harus pandai-pandai membuat siswa betah dan berlama-lama di sekolah. Kreativitas dan memperkaya pengalaman belajar menjadi hal yang tidak bisa terelakkan oleh guru.

Apakah semua guru siap dengan itu semua? Menjadi pendidik yang kreatif, menginspirasi, pandai memotivasi, dan tentunya menyenangkan!

Yang terjadi selama ini, beban kerja minimal 24 jam tatap muka sepekan, ditambah tambahan tugas-tugas pembimbingan dan bahkan administratif, sudah sangat menyita waktu guru. Tak jarang bahkan, guru akhirnya menjadi stres, pengelolaan kelas, ditambah tambahan tugas lain, yang bisa jadi kurang kompeten di bidangnya. Hingga, kekerasan dan ketidaksabaran guru muncul saat menghadapi situasi kelas yang kurang kondusif atau minat belajar yang rendah.

Belum lagi, jika sekolah terlalu formal, monoton dan tidak pandai memberikan pengalaman belajar baru dan bermakna, tentunya fullday school menjadi kering makna. Bahkan, bisa jadi FDS justru akan mengkerdilkan peran keluarga (parenting) dan pendidikan lain. Akibatnya, anak bangsa Indonesia kurang terbentuk oleh pendidikan dan pengalaman belajar yang seutuhnya, manakala hanya dicecoki dengan pelajaran dalam sekat kelas setiap harinya. Karena, waktunya banyak habis di sekolah dan lebih kerap berinteraksi dengan sebaya itu-itu saja.

Fullday school, tidak sepantasnya mendapatkan apriori. Namun, jika tidak didukung dan diterapkan secara arif dan sistemik alias asal-asalan, bukan tidak mungkin justru akan menjerumuskan pada kejenuhan dan stagnasi pendidikan itu sendiri. Wallahu a’lam bisshawab! (*)

Sebarkan berita:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *