Cerpen: Air Mata yang Enggan Berurai

Semangkuk berisi bubur ketan merah di tangannya. Hanya bertutupkan daun pisang, lalu dibawanya dengan berjalan kaki. Mbok Sarmi namanya.

Perempuan ini bergegas, meninggalkan rumahnya pagi itu. Sekitar 20 meter ia berjalan menuju rumah bu Diana, tetangganya.

“Permisi, bu. Ini tolong diterima, bu,” panggil Mbok Sarmi, dari balik pintu rumah tetangganya. Sebungkus bubur ketan itu diambil dari wadah mangkuknya.

Tak lama, perempuan cukup renta ini kembali pamit. Membawa mangkuk kosong yang dibawa sebelumnya. Mbok Sarmi senang, sekembali ia mengantarkannya. Dari kejauhan, anak-anak bu Diana ini terlihat berebut. Cepat-cepat ingin mencicipinya. Syukurlah.

Rumah Mbok Sarmi cukup sederhana, dengan teras kecil. Hanya berlantai ubin, hingga seisi ruangan bagian dalam. Dari kejauhan, terlihat tiang bendera Merah Putih tertancap di pekarangan depan rumahnya.

Warna merah-putih bendera itu sudah memudar. Ada beberapa sobekan kecil di tepi jahitan kainnya. Merah Putih terpasang di tiang bambu tua. Hari itu bertepatan awal Agustus.

Mbok Sarmi sadar. Tetap memasangnya, setiap peringatan Hari Besar Nasional. Meski bendera itu sudah tak layak. Kesetiaannya pada Pertiwi tetap ditunjukkan, tanpa ada yang memaksanya.

“Mbok pergi kerja dulu, yo. Jangan banyak keluar rumah,” pesan Mbok Sarmi pada kedua cucu krecilnya.

“Tak antarkan, mak. Tapi, sebentar ini masih mau makan,” kata seorang pria dari ruang dapur. Ia adalah ayah dari cucu Mbok Sarmi.

“Gak usah, aku tak jalan kaki saja.” Sebuah tas kain diambil Mbok Sarmi. Isinya, hanya sebotol air minum ukuran kecil.

Ia duduk sejenak di kursi depan. Merasakan sedikit linu di kaki, kaku juga lengan kanannya. Mbok Sarmi memang tak lagi muda. Tak bisa duduk berlama-lama memasak. Sejenak, diurutnya pelan-pelan dua kaki, lalu lengannya bergantian.

Siang itu, Mbok Sarmi tetap tak bisa banyak berdiam di rumah. Ia sengaja membuat bubur merah pagi-pagi. Dibagikannya kepada tetangga kanan-kiri rumahnya sebelum keluar kerja.

***

Sehari-hari, janda tua ini biasanya harus bekerja dengan upah harian. Ia biasa memilah sampah, di tempat pengepul barang bekas dari lain kampung. Sekadar untuk bisa menghidupi kebutuhan makan sehari-hari.

Mbok Sarmi memang pekerja keras. Jika musim tanam padi, juga kerap bekerja jadi buruh di sawah. Tubuh rentanya masih cukup kuat bekerja beberapa jam saja. Usianya sudah menginjak 75-an tahun.

Selain untuk menghidupi kebutuhannya sendiri, ada keluarga dengan sejumlah cucu tinggal bersamanya. Kebetulan, mereka sekian lama kesulitan. Kehilangan pekerjaan tetapnya. Kondisi pandemi, berdampak ter-PHK.

Nestapa dalam hidup Mbok Sarmi memang tak bisa disembunyikan. Setiap harinya, tidak pasti yang bisa diharapkan. Upahnya tak lebih dari 50 ribu rupiah tiap akhir pekan, hasil memilah sampah rumah tangga. 

Simpanan uang upahnya tak cukup tersisa untuk makan besok. Ia tak merisaukannya. Bagi Mbok Sarmi, berbagi harus tetap dilakukan. Meski hanya semangkuk bubur. Nyatanya, itu yang bisa dilakukan.

Di lingkungan tinggal Mbok Sarmi, berkirim makanan bubur ketan merah ini punya makna tersendiri. Ada kearifan lokal yang tetap dipertahankan, daripada sekadar berbagi makanan tersebut. Sudah turun temurun, sebagai tradisi leluhur Jawa yang ingin tetap dilestarikan.

Ada nilai yang diyakininya. Kerukunan, persaudaraan, juga adab bertetangga.

Keberadaan keluarga kecilnya di tengah lingkungan tetangga, lebih dipikirkannya. Meski, ia tak tahu untuk kebutuhan keluarganya esok.

***

Esoknya, Kampung mbok Sarmi tampak ramai. Sejak pagi, banyak orang hilir mudik, terlihat membawa tumpukan bahan pangan. Ada yang dinaikkan sepeda motor, sebagian diangkut becak. Beberapa hanya dengan sepeda angin seadanya.

“Mbok Sarmi…! Permisi, mbok!” teriak suami bu Diana. Berkali-kali memanggil, diketuknya pintu rumah Mbok Sarmi.

Siang itu, rumah Mbok Sarmi sangat sepi. Rupanya, perempuan ini sedang tak enak badan. Anggota keluarganya yang lain sedang keluar rumah.

Pintu dibuka Mbok Sarmi. Agak pucat. Sedikit gemetar tubuhnya. Senyum kecil mengembang dari bibir wajahnya yang sudah keriput. Seolah tak tampak kesedihan pada wajahnya.

Dengan kondisi yang dialaminya sehari-hari, Mbok Sri tetap tampak tegar. Sekilas, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia tetap tersenyum. Enggan menampakkan rasa memelas.

“Ini mak, ada kupon bantuan bahan pokok untuk keluarga saya. Untuk Mbok Sarmi saja, ya,” kata tetangga itu,  menjelaskan maksud kedatangannya.

Mbok Sarmi tidak menjawab. Tampak sedikit bingung. Ia menahan sakitnya.

“Diterima saja, mbok. Kami tidak membutuhkannya,” ulang tetangganya.

Mbok Sarmi sempat menolak. Bantuan lain pernah didapatkannya, meski hanya sekali waktu. Ia juga merasa, masih cukup mampu mencari upah borongan seadanya.

“Nggak apa-apa. Saya mengalihkan untuk Mbok Sarmi.” Terus saja ini coba meyakinkannya.

Kupon bantuan itu lalu dicoret namanya, digantikan nama Mbok Sarmi. Sebenarnya, bisa saja bantuan ini diterima, diberikan kepada kerabatnya yang lain. Namun, ini tidak dilakukan. Lebih penting memperhatikan tetangga yang agak sebatang kara ini. Sebelum berpamitan, selembar uang kertas ditinggalkan di meja tamu Mbok Sarmi.

Pria ini sempat merenung sejak. Mencoba merasakan yang terlihat di lingkungan sekitarnya. Pikirannya, jangan lantas menutup mata, pada apa yang dialami orang lain. Sebisa mungkin turut merasakannya.

Tetangga Mbok Sarmi ini lebih cukup berada. Beberapa pekan, juga tak bisa keluar rumah. Sekadar mencari penghidupan bagi keluarga.

Ia hanya belajar dari Mbok Sarmi. Hidup bermasyarakat banyak yang bisa dijunjung tinggi. Persamaan sesama manusia, saling tepo seliro, adil, membantu satu sama lain. Kehidupan baik harus dijaga, dalam lingkungan yang sama dengan orang lain. (*)

***TAMAT***

Cerpen Khoirul Amin, Malang 22/8/2021

Sebarkan berita:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *