Merawat Jati Diri Kebinekaan dalam Gotong Royong

MASIH ingatkah kita, arak-arakan model anak-anak dengan pakaian adat nusantara yang berbeda-beda saat perayaan Hari Besar Nasional? Saat peringatan pitoelasan, di bulan Kemerdekaan Republik Indonesia contohnya, banyak kita temui pawai busana adat seperti ini. Saat pentas seni di sekolah, kerap pula ditemui penampilan kreasi pelajar dengan pernak-pernik adat dan budaya berbagai daerah.

Begitu halnya, ketika acara ruwatan atau ritual di desa-desa, tidak pernah sepi dari khazanah tradisi budaya. Perayaan tradisi lokal yang juga sarat apresiasi seni-budaya dan pelestarian nilai-nilai tradisi warisan para leluhur bangsa. Meski sebagai tradisi Jawa, acara ruwatan desa tak jarang memunculkan kekhasan budaya lain, seperti Bali, Aceh hingga Papua. Semua lengkap dengan atribut dan busana masing-masing.

Semua contoh di atas sejatinya adalah cerminan kebanggan pada kekayaan kebhinnekaan yang dimiliki bangsa ini. Juga, sebagai ekspresi rasa syukur nikmat dan menghargai kearifan lokal, yang ingin terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Hampir dua tahun terakhir, euforia bernuansa kebhinnekaan nusantara ini tak lagi didapati dan bisa dirayakan dalam riuh pawai karnaval. Situasi pandemi memang membatasi ruang bagi perayaan seperti ini. Bangsa Indonesia kini lebih banyak mengenal kebhinekaan Indonesia dari narasi atau konten dalam literatur atau platform media.

Lalu, apakah hal ini lantas menjadikan lunturnya pemaknaan kebhinnekaan kita? Terbatasnya interaksi sosial-budaya masyarakat kini, apakah juga serta merta bisa menghilangkan kekayaan kearifan lokal bangsa ini?

Terlalu naif sekiranya mengamini begitu saja pertanyaan-pertanyaan di atas. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada sama sekali kekhawatiran ancaman bagi kekuatan kebhinnekaan bangsa kini. Terlebih, bagi generasi anak-cucu bangsa kelak, tidak berlebihan sekiranya kita juga khawatir atas rasa bangga dan cinta kebhinnekaan Indonesia masa mendatang.

Sebagai anak bangsa, kita semestinya sadar dan bisa memaknai kebhinnekaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebhinekaan dalam arti sebenarnya sebagai kenyataan kemajemukan bangsa, dengan ras, bahasa, agama dan adat-istiadat budaya yang berbeda-beda. Kemajemukan bangsa ini sudah disepakati para tokoh pendiri bangsa, menjadi bagian falsafah dan dasar negara. Yakni, Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya ‘Berbeda-beda, namun Tetap Satu Kesatuan.’

Bahkan, kebhinnekaan Indonesia ini adalah jati diri bangsa. Jati diri dalam keberagaman bangsa yang semestinya bisa dibanggakan selama-lamanya, dimanapun dan dalam situasi apapun. ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang sebenarnya ikrar kesetiaan bangsa, sehingga akan senantiasa merasa saling menyadari keberagaman, dan tetap menjaga persatuan dalam berbagai perbedaan yang ada.

Maka, memaknai kebhinnekaan Indonesia bukanlah sempit, sekadar jargon simbolik yang hanya bisa diwakili gambar atau penampilan berbeda-beda berbagai suku bangsa. Akan tetapi, kebhinnekaan yang kaya perbedaan, yang harus saling dihargai satu sama lain dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Kebhinnekaan kita kerap menghadapi tantangan dan ujian. Demokrasi melahirkan alam kebebasan, dan bisa berdampak kehidupan sosial-kemasyarakatan dan kemanusiaan sesama bangsa. Masalah kesenjangan kesejahteraan masyarakat misalnya, akan mudah mengganggu stabilitas kemajemukan bangsa ini. Kemakmuran yang tak berkeadilan, bisa memperlebar kesenjangan dan memunculkan kecemburuan yang berakibat perpecahan bangsa.

Masa sulit pandemi kini, mudah saja menjadikan bangsa ini terpuruk dan lemah. Maka, gotong royong dalam kebhinnekaan adalah jawaban yang bisa menguatkan. Gotong royong yang melahirkan empati dan solidaritas, serta membangkitkan kerja sama, tolong menolong dan kerelawanan semua bangsa dan antar sesama. (*)

*Ditulis Khoirul Amin, pegiat literasi media.

Sebarkan berita:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *