Inspirasicendekia.com, MALANG – Pendidikan di Indonesia juga dihadapkan pada peserta didik dengan kebutuhan khusus (ABK). Pendidikan inklusi dengan perlakuan (treatment) tepat dan layanan pembelajaran yang mudah dicerna ABK sangatlah penting.
Pengalaman dan praktik tentang pengelolaan dan pembelajaran inklusi yang baik didapatkan Atik Rahmawati SPd.AUD, guru TK Mardisiwi 01 Kota Batu, dari program AAF (Australian Award Fellowship). Program shout course yang diselenggarakan oleh University of Sydney ini hanya diikuti 14 guru se Indonesia.
Short course AAF ini diikutinya selama 3 pekan di Australia dan 1 pekan di Jakarta untuk post dan pre-departure. Dalam kegiatan di negeri Kangguru ini peserta belajar materi tentang seperti apa pendidikan inklusi semestinya.
Kesempatan mengikuti program AAF di Australia ini menjadi pengalaman berharga sekaligus tantangan tersendiri bagi Atik. Betapa tidak, pendidikan inklusi di Kota Batu untuk TK memang sesuatu yang baru.

“Peserta program ini terekrut melalui seleksi yang diselenggarakan P4TK TK Pendidikan Luar Biasa (PLB) Bandung. Saya sendiri sehari-harinya adalah pendidik TK reguler,” kata Atik Rahmawati, Sabtu (6/1).
Dikatakan, selama ini pendidikan inklusi baru bisa diimplementasikan dari tingkat SD sampai SMA. Karena itu, lanjutnya, saat ini yang sangat penting adalah menanamkan pengetahuan kepada para guru TK, khususnya tentang apa dan bagaimana pembelajaran inklusi itu harus dilaksanakan.
Lalu, pengalaman seperti apa yang didapatkannya dari perkuliahan AAF? Menurut Atik, yang sangat berbeda tentang pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia dan di Aussy adalah, bahwa di Aussy asesmen untuk anak diberikan awal (early assesment). Sehingga, bila dari awal sudah ditemui adanya ciri kebutuhan khusus pada anak, maka bisa diberikan intervensi sedini mungkin.
Di Australia, lanjutnya, jarak (pemahaman kognitif dan psikomotor) antara anak normal dan ABK tidak begitu jauh. Terlebih, di sana pendidikan inklusi sudah dijamin oleh pemerintah dan mendapat subsidi.
“Berbeda dengan di Indonesia, assesmen baru diberikan ketika mereka memasuki masa sekolah. Dan itu jelas sangat terlambat sehingga intervensipun sangat telat,” jelasnya.
Dengan menggunakan alat peraga, ABK lebih tertarik dan mudah menerima apa yang disampaikan pendidik. Akan tetapi, menurutnya untuk melayani dan memudahkan pemahaman anak ABK, bukan sekadar alat peraga yang dibutuhkan, melainkan lebih pada treatment guru.
“Treatment ini bisa berjalan baik dengan adanya kolaborasi dari pihak guru, orangtua, dan terapis, dilihat dari kebutuhan apa pada setiap anak ABK,” imbuh Atik.
Selesai mengikuti kegiatan AAF ini, pihak Australia akan melakukan visitasi pada Februari 2018 mmendatang. Rencananya, pihak Aussy akan mengadakan seminar di 3 provinsi, yakni di Medan, Bandung dan Kalimantan.
Aussy juga akan ke daerah-daerah asal peserta AAF untuk melihat action plan yang dilakukan oleh peserta di lingkungan terdekatnya. Seperti progress laporan ke dinas pendidikan setempat, sosialisasi di lingkungan sekolah, publikasi ilmiah, dan lainnya.
“Perlu mengubah mindset para guru, bahwa anak berkebutuhan khusus tidak harus sekolah di sekolah SLB. Karena pada dasarnya setiap anak meski itu ABK, punya hak yang sama untuk sekolah di sekolah reguler, sebagaimana sudah diatur dalam UU nomor 70/2009 tentang pendidikan inklusi,” jelas perempuan kelahiran 10 Desember 1985 ini.
Selain aktif mendidik di TK, Atik Rahmawati saat ini juga sebagai Narasumber Nasional program Guru Pembelajar 2016 dan program PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) 2017. (rul)