Bangsa Indonesia dengan kemajemukan budaya telah banyak mengajarkan kepada kita tentang hakikat manusia yang manusiawi. Manusia yang penuh kasih, tepo seliro, dan memiliki hati nurani.
Sejarah bangsa ini telah membuktikan bahwa nenk moyang kita berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia hingga tetes darah penghabisan, bukan berbuat culas merebut kedaulatan dan kemerdekaan bangsa lain! Bukan pula pemberian cuma-cuma dari negara berkuasa!
Salah satu bukti bahwa bangsa ini layak disebut bangsa berbudaya yang menjunjung nilai-nilai luhur budi pekerti adalah berkembangnya seni pertunjukan wayang. Walaupun saat ini menjadi sebuah ironi (wayang tidak banyak dikenal generasi muda) tetapi makna filosofisnya mampu menggiring setiap gerak langkah anak manusia. Maminjam istilah anak band “tak lekang oleh waktu”
Ketika gaung pendidikan kita yang mengindahkan pendidikan karakter, banyak sekali tokoh pewayangan yang menginspirasi. Menginspirasi karena kecantikan atau ketampanannya, kekuatannya, atau bahkan kesetiaan dan pengabdian pada rakyatnya. Dalam sebuah pergelaran besar wayang kulit, kita pasti kenal “4 sekawan” yang menjadi tokoh tritagonis, bijak, mulia, tak berpihak, dan selalu berkata benar. Ya,”4 sekawan” yang tersohor dengan sebutan punakawan.
Begitu luar biasa! Kalimat itu tidaklah berlebihan jika kita mampu menelaah pesan moral yang terkadung dalam punakawan ini. Pesan moral/nasihat yang dikemas apik dalam diri tokoh yang harus kita apresiasi bersama.
Punakawan berasal dari kata “pana” yaitu paham (arif/bijaksana) dan “kawan” yang berarti sahabat. Jadi, Punakawan artinya sahabat yang arif. Sahabat yang mampu memberikan pencerahan kepada tokoh utama, bagaimana hidup dan bertahan hidup dengan cara yang baik dan luhur. Keempat Punakawan ini sebagai lambang cipta, rasa, karsa, dan karya manusia.
Sebagai tokoh utama yang sekaligus paling tua adalah Semar, lambang karsa atau kemauan yang agung, baik dan luhur. Semar berasal dari bahasa Arab, “simaar” yang berarti paku. Artinya, kebenaran yang didukung Semar sifatnya kuat dan kokoh seperti paku. Semar sebagai lambang ibadat yang mampu mengendalikan nafsu. Jika setiap anak manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya, pastinya kemungkaran akan menjauh.
Gareng, lambang cipta (akal) manusia. Gareng berasal dari bahasa Arab ”naala qariin” (nala gareng) yang berarti memperoleh banyak kawan. Walaupun tiada memiliki fisik yang sempurna, Gareng mampu memiliki banyak kawan. Hal itu membuktikan bahwa hakikat manusia terdapat dalam hatinya, bukan fisiknya. Gambaran fisik tokoh Gareng yaitu memiliki mata juling yang berarti simbol berpikir, memiliki tangan bengkok sebagai simbol nalar berliku-liku, tidak hanya satu sudut pandang saja, kakinya yang gejig, menunjukkan sikap kehati-hatian. Sikap yang dimiliki Gareng ini sangat cocok jika dikaitkan dengan fenomena yang ada di masyarakat kita saat ini yang cenderung membesar-besarkan perbedaan, bahkan ribut dengan saudara sendiri hanya karena tidak sepaham ataupun tidak satu pandangan. Gareng mengajarkan kita bagaimana perbedaan itu sebagai rahmat bukan laknat.
Tokoh punakawan yang ketiga adalah Petruk, lambang rasa. Petruk juga berasal dari bahasa Arab, yaitu Fatruk yang berarti, tinggalkanlah. Tinggalkanlah sesuatu yang bukan dari Allah. Dengan kata lain, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi sehala larangan-Nya. Sederhana tetapi sangat mengena.
Tokoh terakhir, yang memiliki tubuh pendek dan gemuk dikenal dengan sebutan Bagong, lambang karya. Bagong berasal dari bahasa Arab, “baghaa” yang berarti memberontak terhadap sesuatu yang zalim. Berat sekali menyandang nama Bagong ini! Tetapi walaupu berat tetap harus berbuat dan itulah yang disebut perjuangan.
Sebagai bagian dari bangsa besar ini, karakter Punakawan mampu menjawab tantangan zaman. Kita boleh maju, dan memang harus terus maju. Kita harus berperan, dan harus berperan sesuai aturan. Kita harus berkarya walaupun dilahirkan tidak sempurna. Kita harus mempu ber-amar ma’ruf nahi munkar!