Dunia sudah semrawut, tatanan sosial sudah carut marut, di lingkungan keluarga mana kakak, mana adik memanggil sudah sulit di bedakan , banyak anak menggendong anak, kebahagian dan ketentraman dalam keluarga sudah hilang, keberkahan hidup hanya harapan.
Tanya kenapa? Hal tersebut terjadi tidak lepas dari konstruk media elektronik khususnya yang sudah hilang kendali dan sulit di kendalikan. Orang tua dan guru belum mengajarkan pelajaran tertentu, tetapi anak kita sudah menguasai, karena begitu bebas dan luasnya sumber informasi sehingga guru atau orang tuapun sulit melakukan control kepada perkembangan anak-anaknya. Berbagai media elektronik banyak menyeret pemikiran penikmat menjadi ahli konsumtif dan merasa kurang dan kurang.
Kemudian ada satu faktor “x” yang membuat kehidupan kita ini semakin jauh dari kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan. Faktor “x” itu ada dimana mana, mudah di dapat, murah, bahkan geratis, sulit di hindari bahkan hampir tidak biasa kita tolak. Apa itu? Ya itu sumber penghasilan yang tidak jelas menurut teman-teman santri di istilahkan “Subhat” bahkan kakak pertama dari subhat yaitu “Haram”.
Kita melihat setiap hari itu terjadi di sekeliling kita, kita tahu, kita paham namun kita wajib membisu seribu bahasa karena praktik “Haram” itu sudah merasuk menjadi suatu budaya yang lazim.
Misalnya saja yang kerja di pasar, Yu ton istri kang Di jualan lombok brambang mengurangi timbangan, mencampur dagangan yang lama dengan yang baru, namun memakai harga yang baru. Misalnya lagi kang Man bakul beras, berasnya 64 di campur dengan beras jenis rojo lele yang harganya lebih rendah.
Tren yang terbaru menjadi seorang pegawai lembaga atau instansi tertentu harus membayar sejumlah uang tertentu, dengan dalih ini dan itu, padahal ini jelas akan mengakibatkan seluruh gajinya menjadi uang “haram” kata ustadz-ustadzah ketika pagi-pagi saya melihat ceramah dalam Televisi Swasta tertentu. Belum lagi kita harus melakukan SPJ rampung yang itu jelas-jelas wajib memanipulasi tanda tangan dan berbagai stempel. Namun jika tidak mau kita akan ngaplo tidak mendapat apa-apa. Salah kaprah, ya kata emak saya dalam istilah jawa “salah kaprah”, salah yang telah menjadi budaya dan mendarah daging sehingga kesalahan itu kelihatan sangat wajar.
Pernah suatu saat saya mendengarkan ceramah Aqiqah di tetangga sebelah, mubalighnya setelah selesai menyampaikan materi tentang Aqiqah kemudian menyampaikan juga pentingnya kita menjaga perut kita dari makanan “haram”.
Kemudian di penggalan ceritanya itu juga di sampaikan bahwa memakan makanan haram “sak cokotan” sesuap saja, maka doa dan ibadahnya tidak di terima oleh Allah AWT selama 40 hari, 40 malam. Kita bayangkan kira –kira siapa yang tidak pernah sama sekali memakan makanan haram, jangan kita yang sudah memiliki titel, la wong waktu kita kecil saja siapa yang tidak pernah mengambil tanaman orang, misalnya mangga, papaya, rambutan, degan, ceres, tebu dll, dan itu berapa “cokotan” suapan. Jika kita hitung satu batang tebu itu bisa mencapai 100 “cokotan”, belum lagi buah dan hasil “ngentit” uangnya emak/ibu.
Kemudian di ceramahnya, Kyai tersebut menceritakan cerita singkat tentang kisah pemuda cerdas, usia 7 tahun sudah hafal kitab suci, kemudian mengarang berbagai kitab di antaranya adalah kitab Al-Um, dan kemudian menjadi salah satu madzhab yang paling banyak di ikuti oleh umat Islam di Asia Tenggara, yaitu Imam Syafi’I. Kyai tersebut tiba-tiba mengajukan pertanyaan kepada jamaah, kenapa bisa begitu hebat si Imam Syafi’I ini? Semua jamaah terdiam, dan Kyai tersebut menjawab! Yaitu Pak Rohman Bapak dari Imam Syafi’I ini sangat menjaga perutnya dari makanan haram.
Untuk itu sebenarnya kita menjadi orang yang merugi, jika keluarga, kita beri makanan dari makanan yang tidak halal. Selain anak kita, keluarga kita akan kehilangan barokah, kedamaian dan ketentraman di dunia, banyak masalah, tua sedikit sudah dikeroyok penyakit dan kita juga akan masuk neraka. Apapun agama kita pastinya makan haram tidak di benarkan. Ini yang dimaksud faktor “x”. (*)