Hasil Ujian National (UN) jenjang SMA/MA/SMK sederajat telah diumumkan pemerintah akhir pekan lalu. Secara nasional, terjadi penurunan nilai akhir dan nilai rata-rata yang diraih siswa. Fenomena menurunnya hasil UN ini bahkan terjadi dua tahun belakangan.
Sebelum membincang soal penurunan hasil dan nilai UN ini, selayaknya diketahui pula beberapa kebijakan yang menyertai penyelenggaraan UN tahun ini. Yakni, hasil UN bukan menjadi penentu kelulusan, dan UN diselenggarakan juga dengan dua model, berbasis kertas dan komputer (UNBK).
Indikator sukses yang bisa digunakan pada hasil UN adalah tidak didapatinya nilai kurang dari 5,5 tiap mapel. Sukses lainnya, adalah diperolehnya nilai absolut (10). Termasuk, pelaksanaan ujian dengan kejujuran yang tinggi oleh siswa yang menjadi peserta ujian.
Bagi sebagian stakeholder dan pelaku pendidikan, hasil UN yang menurun tahun ini perlu menjadi bahan evaluasi. Ini karena penurunan terjadi cukup signifikan, dilihat dari nilai kualifikasi nilai yang turun dan tingginya nilai di bawah skor minimal 5,5.
Maskuri, kepala SMAN 1 Kepanjen mengungkapkan, penurunan hasil rata-rata NUN terjadi terutama pada siswa dengan kemampuan penguasaan akademik rendah dan sedang. Hasilnya, klasifikasi nilai yang diperoleh siswanya hanya pada rentang kualifikasi B dan C yang hampir merata.
Padahal, menurutnya saat ujian sekolah hasil yang diperoleh siswa bagus. Ini diyakini karena siswa lebih fokus karena ujian sekolah menjadi penentu kelulusan. Kualifikasi nilai kategori A juga lebih banyak didapat saat ujian nasional kertas dua tahun sebelumnya.
Maskuri juga memperkirakan menurunnya NUN tahun ini lebih banyak disebabkan tingkat kesulitan soal high order thinking, yakni sekitar 20 persen dari jumlah item soal yang diujikan. Dengan soal berupa uraian panjang, beserta narasi terkait kondisi sebelum pada inti soal, dimungkinkan siswa belum tentu bisa mengkaitkan atau memahami fokus atau inti soal dengan narasi atau uraian pengantarnya.
Lain halnya, kepala SMKN 1 Turen Didik Indratno mengungkapkan, menurunnya NUN juga terjadi pada pensentase kegagalan yang masih tinggi sejumlah 48% nilai mapel di bawah 5,5. Sehingga, untuk bisa mencapainya siswa harus mengulang dengab mengikuti UN Perbaikan. Di SMKN 1, nilai di bawah 5,5 didapati pada mapel Matematika pada 222 siswa dan Bahasa Inggris pada 30 siswa. Namun begitu, nilai kompetensi kejuruan secara umum hasilnya sangat bagus.
Menurutnya, fenomena kemerosotan hasil UN dua tahun terakhir disebabkan NUN bukan penentu kelulusan. Selain itu, nilai minimal 5,5 masih dirasa berat. Apalagi, intake soal, input siswa, dan mutu soal juga tidak bisa disamaratakan untuk semua siswa dengan kemampuan dan karakteristik yang berlainan.
Terkait menurunnya hasil UN ini, pakar dan praktisi pendidikan dari Universitas Negeri Malang Waras Kamdi MPd bepandangan, bahwa naik-turunnya skor UN bisa dipengaruhi banyak faktor. Faktor paling menentukan adalah pergerakan tingkat kesulitan soal dan level kognitif soal. Mungkin tahun ini lebih banyak disebabkan tingkat kesulitan soal naik seiring dengan 20% higher order thinking.
Meskipun, lanjutnya, tidak selalu soal higher order thinking mesti sulit. Bisa juga dibuat mudah atau sedang. Untuk mengetahui hal ini perlu analisis data lebih cermat. Teknik analisisnya dengan IRT, sehingga akan bisa memetakan kesesuaian tingkat kesulitan soal dengan tingkat kemampuan peserta ujian.
Meski demikian, Waras juga beranggapan penurunan skor UN tahun ini mungkin juga pertanda baik, dalam arti menurunnya angka kecurangan sehingga skor menjadi lebih bersih alias apa adanya. Selebihnya, menurunnya NUN jangan keburu disikapi dengan keprihatinan. Meskipun kecurangan masih terjadi di hampir seluruh wilayah. (min)