Selama 4-6 September pekan lalu menjadi ajang pameran sekaligus uji kompetitif para pelaku usaha kreatif dari berbagai kota. Bertempat di lapangan Rampal Kota Malang, para pelaku usaha ini melalui stand masing-masing mencoba menggaet minat penikmat usaha kreatif di ajang KICKFest 2015. Event Kickfest ini digagas oleh Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK). Kickfest sebagai ajang adu kreatif distro-distro memamerkan produk fashion merek lokal. Setidaknya 78 tenant untuk clothing dan distro dari Malang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta membanjiri arena ini.
Tak sekadar berjualan pakaian saja, aspek kreativitas seni juga ditonjolkan dalam event tersebut. Hal itu terlihat dari desain stan yang dilakukan masing-masing peserta. Tak hanya itu, pameran fashion, Kickfest juga mewadahi kreativitas komunitas anak muda mulai musik, motor, hingga painting.
Project Director Kickfest 2015, Rahadian Nasidik mengatakan, tema Kickfest tahun ini sebagai destinasi liburan. Panitia tidak hanya menyediakan tenant untuk clothing dan distro, tetapi juga hiburan musik, foodcourt, dan pertunjukkan dari komunitas. Panitia pun menargetkan jumlah pengunjung pada Kickfest 2015 ini tembus 50.000 orang.
“Pengunjung bisa belanja sambil dengarkan musik, seperti sedang liburan. Diskon yang diberikan tiap distro maksimal 30 persen,” ujarnya.
Sebelumnya, bertempat di Ria Djenaka Coffe and Resto, mengawali rangkaian even KICKFest tersebut, para pegiat ekonomi kreatif saling bertukar ide dan pengalaman menjalankan konsep bisnisnya dalam diskusi mengenai ‘Peranan Industri Kreatif Menghadapi MEA 2015’. Diskusi ini juga menghadirkan pelaku industri kreatif seperti Firdaus Arisandi dari KICK Malang dan Fiki Nugrahawan Afandi, pemilik Ria Djenaka Coffe and Resto serta Erwin Kusumawan, Manager Corporate Communication Telkomsel.
Dipilihnya Kota Malang sebagai tempat digelarnya even ini karena Malang merupakan barometer digital startup kedua setelah Bandung dengan banyaknya industri kreatif lokal yang dikenal masyarakat luas.
“Malang itu jadi digital startup kedua setelah Bandung, karena perkembangan film, aplikasi, digital dan musiknya,” demikian disampaikan Fadjar Hutomo, Deputi Bidang Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif.
Menurut Fadjar, film bisa menjadi contoh yang luar biasa dalam perkembangan trend, seperti film Korea yang menjadikan demam Korea. Mulai dari kebiasaan dan juga lifestyle bangsa negeri Ginseng ini. Dengan cara mereka dalam menyajikan sinetron Korea gratis kepada TV di Indonesia, sehingga dengan banyaknya sinetron Korea yang ditayangkan akan meningkatkan jumlah penyukanya.
“Efek dari film ini bisa berimbas pada penjualan barang-barang Korea dan kunjungan wisata juga naik ke negara itu. Itu kuatnya film dan musik dalam dunia digital,” terangnya.
Ia juga memaparkan film ‘5 cm’ yang mengakibatkan banyaknya kunjungan ke Semeru. Contoh lain dari pengaruh dunia digital ini, yaitu film ‘Laskar Pelangi’ yang mengakibatkan banyak yang mengunjungi Bangka Belitung.
Ia menegaskan, Indonesia belum sadar benar potensi dan dampak film terhadap ekonomi, karena biasanya parameter film hanya dilihat dari jumlah pengunjung. Tapi tidak pernah dipikir dampak kunjungan wisatawan ke lokasi-lokasi tersebut.
Lain halnya Fiki Nugrahawan Afandi , pemilik Ria Djenaka Coffe and Resto Jl Bandung Malang yang banyak menjelaskan pengalaman berkaitan dengan industri kreatif yang berkembang di Malang khususnya bidang kuliner. Ia mengungkapkan, berawal dari warung Babe di area Batu seluas 1.500 meter persegi, bisnisnya kini bisa berkembang menjadi 10 kafe yang tersebar di Jogjakarta, Malang dan Sidoarjo.
Penghasilannya pun tidak tanggung-tanggung, dalam sebulan omsetnya mencapai Rp 2 miliar.
“Perkembangan bisnis kuliner di Malang butuh konsistensi karena perkembangannya saat ini mencapai puluhan outlet,” terangnya. (min)