Tradisi Petekan, Uji Keperawanan ala Suku Tengger

Suku TenggerDi Desa Ngadas, kecamatan Poncokusumo, wilayah ujung paling timur Kabupaten Malang, terdapat tradisi sangat unik. Tradisi ini sudah berabad-abad lamanya dipegang teguh warga Suku Tengger, salah satu dusun yang ada di desa ini. Namanya, tradisi Pethekan.

Desa Ngadas, kecamatan Pomcokusumo, Kabupaten Malang, jaraknya lumayan dekat dengan gunung Bromo, yakni hanya sekitar 8 km, jika dari Malang Kota berjarak sekitar 32 Km. Berada di daerah dataran tinggi dekat Gunung Bromo, tentunya suasana alam Tengger sangat lah sejuk dan alami. Suasana semacam ini pastinya sangat pas untuk melepas penat, menjadi jujugan refreshing dan berlibur. Dan, pastinya, sangat cocok bagi keluarga atau pasangan muda-mudi untuk menikmatinya.

Bagi masyarakat Suku Tengger, tradisi Pethekan ternyata berfungsi sebagai salah satu pranata sosial untuk mengontrol kehidupan masyarakatnya. Tradisi ini ternyata efektif mampu menekan angka hamil di luar nikah atau pemerkosaan. Tradisi Petekan, yang dalam bahasa Jawa berarti ‘menekan’, adalah suatu tradisi yang sudah dilakukan sejak abad ke 17 silam. Tradisi ini melibatkan seluruh wanita, baik gadis atau janda yang masih subur.

Tradisi yang dalam bahasa medisnya adalah palpasi ini dilakukan dengan cara melakukan penekanan di sekitar perut dan kelamin perempuan. Tujuannya adalah untuk mengetahui adanya janin di dalam perut. Janin yang sudah bisa dideteksi dengan petekan yaitu usia kehamilan mulai dari 1,5 bulan- 9 bulan.

SUKU TENGGERSebagai pranata sosial, hukum adat yang dibuat melalui tradisi petekan sangat dipatuhi oleh warga setempat. Hukuman yang diberlakukan sebagai efek jeranya juga akan membuat pikir-pikir para pelaku seks bebas, pemerkosaan, atau perselingkuhan. Bagaimana tidak, untuk hukuman bagi seseorang yang masih belum menikah atau jika dalam istilah agama Islamnya adalah Ghoiru Muhsan, maka akan disuruh membayar dengan 50 sak semen, semen itu akan diserahkan ke desa. Hukuman ini tidak pandang bulu, baik kaya atau miskin, hukumannya sama. Setelah membayar denda, mereka akan dinikahkan secara adat dan secara agama.

Yang lebih berat lagi adalah bagi seseorang yang sudah menikah atau sudah berkeluarga, hukumannya adalah didenda dengan membayar denda 100 sak semen, ditambah lagi dengan dipermalukan dengan cara menyapu halaman seluruh desa, dari ujung sampai ujung hingga bersih. Setelah itu mereka akan dinikahkan hanya secara adat saja sampai bayi itu keluar, dan selanjutnya harus cerai. Karena hukum adat di Tengger tidak menghalalkan poligami, untuk itu bagi yang sudah menikah, maka setelah bayinya lahir maka harus cerai. Walaupun sudah melakukan pernikahan adat, mereka juga tidak diperbolehklan berhubungan badan.

Hukuman ini menurut beberapa sesepuh sudah sangat mujarab. Terbukti dengan minimnya kasus hamil di luar nikah di Suku Tengger ini. Tujuan Petekan tidak lain adalah ingin memberikan efek jera kepada para pelaku, dan menjadi sumber pelajaran bagi para calon yang mungkin berniat melakukan pergaulan bebas.

Keunikan tradisi petekan ini pula yang menarik dijadikan bahan disertasi Bupati Malang Rendra Kresna dalam pendidikanya di Program Studi Ilmu Sosial Pascasarjana Universitas Merdek Malang. Mengambil tema “Tradisi Petekan di Masyarakat Tengger”, tradisi ini mengandung makna untuk menjaga harkat dan matabat dari seorang wanita, melindungi kaum hawa dari maraknya pelecehan dan kejahatan seksual terhadap wanita. (min)

Sebarkan berita:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *