Tinggal di Bekas Gudang, Pasutri Asal Kepanjen Ini Hidup Susah

KEDATANGAN kami mungkin sedikit mengagetkan Wedi (52) dan Sumiati (48), pasangan suami isteri warga RT 005/RW 001 Ardirejo Kepanjen Kabupaten Malang Jawa Timur, Kamis (4/3/2021). Di dalam tempat tinggalnya ini, tampak Pak Wedi hanya bisa duduk di kursi dekat pintu yang hanya ditutup tirai seadanya.

Tampak jelas kondisi tempat tinggal yang kini sehari-hari dihuni pasutri ini. Bagian bangunan seluas sekitar 2 x 10 meter dimanfatkan jadi satu untuk ruang tamu, tidur dan memasak, hanya tersekat untuk kamar mandi. Lantai bangunan hanya ubin dan berdinding plat seng yang biasa digunakan untuk atap.

Maklum saja, bangunan tersebut mulanya merupakan gudang bengkel dan parkir pemilik yang masih tetangga mereka. Meski demikian, perabot yang ada tampak tertata dan cukup bersih. Mungkin bu Sumiati masih cukup waktu untuk merapikan tempat tinggal yang sebenarnya tak layak huni ini.

Penulis tak bisa banyak bertanya pada pak Wedi, karena kondisinya memang sakit hampir lima tahun terakhir. Sesekali ia iakut berbincang, namun dengan anggota tubuh yang terus gemetar. Syarafnya tak bisa berfungsi normal, yang membuatnya mengidap penyakit tremor.

Kondisi ini nyaris membuatnya tak lagi produktif bekerja. Bahkan, untuk keperluan sendiri sehari-hari, ia hanya mengandalkan bantuan sang isteri. Termasuk ketika makan dan membersihkan badan.

“Sudah empat tahun lebih bapak begitu (sakit tremor). Ya, Saya pun harus banyak menjaga dan melayaninya. Paling membantu bekerja seadaya keluar sebentar mencari barang rongsokan,” cerita Sumita dalam bahasa Krama, sambil berisak tak bisa menyembunyikan perasaan susahnya.

Bisa tergambarkan memang, bagaimana beban hidup dan kesusahan yang dialami pasutri ini, terlebih pada bu Sumiati. Bekerja memungut barang bekas harus dijalaninya karena memang kebutuhan sehari-hari yang belum tercukupi.

“Bekerjanya memang gak bisa jauh, karena harus merawat bapaknya. Barang bekas yang terkumpul bisa dijual paling banyak Rp 20 sampai 25 ribu. Ya, untuk obat atau beli sayur dan lauk makan. Itupun gak bisa setiap hari,” lanjut Sumiati.

Bangunan bekas gudang yang dihuni pasutri ini berada di ujung permukiman dan berada di lahan yang persis berbatasan dengan jurang sungai. Sebelumnya, ada rumah kosong yang ditinggali selama beberapa tahun di bagian bawah (turunan jurang). Namun, ini sangat menyulitkan bagi Sumiati untuk naik turun. Apalagi, ia juga kerap mengeluhkan sakit pada kaki sehingga susah berjalan.

Sejumlah bantuan pemerintah yang beberapa hari terakhir bisa dirasakan warga lain, tak bisa dinikmati pasutri sebatang kara ini. Satu-satunya yang rutin diterima mereka adalah bantuan pangan tunai berupa paket beras 10 kilogram dan telur 1 kg setiap bulan.

“Kurang mencukupi, tapi ya dicukup-cukupkan, mas. Tapi, jika kurang dan untuk kebutuhan lain mau gimana lagi. Kalau pas gak bekerja, akhirnya ya menerima saja uluran orang lain. Selebihnya, ya pasrah,” kata Sumiati memelas.

Bantuan lainnya, pasutri ini sudah diikutkan dalam kepesertaan penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS). Namun, keduanya mengakui tak banyak mengetahui kemanfatannya.

“Nggih, sekali dipakai untuk periksa lalu dikasih obat. Hanya diminta kembali jika sakitnya masih belum hilang. Obat (pereda nyeri) sering harus beli sendiri kalau pas kambuh sakitnya,” imbuh bu Sumiati.

Sangat bergantungnya pada bantuan tetangga ini juga dibenarkan salah satu tokoh masyarakat yang masih satu kampung dengan pasutri ini, M Sodiq. Menurutnya, uluran bantuan dan kepedulian lebih sangat dibutuhkan keluarga ini.

“Kasihan sekali kehidupan mereka,” kata Sodiq. [choirul amin]

Sebarkan berita:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *