inspirasicendekia.com, MALANG – Gelombang reaksi keberatan pemberlakuan lima hari sekolah atau fullday school yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mulai tahun ini ramai bermunculan sepekan terakhir. Sebagian pemberitaan media bahkan ada yang memunculkan penolakan rencana kebijakan ini. Seperti apakah konsep fullday school? Berikut penjelasannya.
Dr Arie Budiman, Staf Ahli Mendikbud bidang Pendidikan Karakter menegaskan, rencana kebijakan lima hari sekolah atau fullday school memang masih perlu banyak dipahami. Menurutnya, pihak yang keberatan itu karena belum tahu persis konsep kebijakannya, tapi tidak tabayyun dulu. Jadinya terjadi salah persepsi.
“Kalau masyarakat sudah memahami ketentuannya, dipastikan tidak akan ada penolakan. Jadi tidak ada pembatalan kebijakan yang baik,” terangnya, Senin (12/6).
Dikatakan, fullday school merupakan ikhtiar untuk mereformasi sekolah dan penguatan karakter masa depan anak-anak didik. Karena itu, tentunya kebijakan yang baik harus terus berlanjut. DR Ari lantas balik meminta pihak-pihak yang menolak, menelaah kembali apa alasannya.
Dikatakan, dalam menerapkan sekolah lima hari pada prinsipnya sekolah diminta secara kreatif mengintegrasikan program intrakurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler secara optimal dengan waktu yang proporsional sesuai kebutuhan setiap jenjang pendidikan.
Dalam kaitan ini, pihak sekolah diminta menjalin kolaborasi dengan sumber-sumber belajar di luar sekolah melalui pelibatan publik, seperti dengan lembaga/komunitas keagamaan, seni, budaya, sastra, sains, olah raga, dan lainnya.
“Kegiatan-kegiatan tersebut untuk mendukung penguatan pendidikan karakter siswa. Pembagian waktu diserahkan kepada sekolah secara fleksibel sesuai kebutuhan KBM,” imbuh Ari Budiman.
Regulasi terkait sekolah lima hari ini sendiri masih menunggu pengesahan. Pihaknya memastikan mekanisme konsultasi publik untuk penyusunan peraturan perundangan sudah dilakukan. Bahkan, selama ini sekolah yang sudah melaksanakan kegiatan belajar mengajar 5 hari juga sudah banyak, baik negeri, swasta dan madrasah.
Sebelumnya, dalam rilis resmi Kemdikbud RI disebutkan, kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menitik beratkan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas, melainkan juga di lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, musium, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi sumber belajar.
“Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen,” terang Mendikbud di kantor Kemendikbud, Jakarta, Ahad (12/6).
Untuk itu, lanjut Mendikbud, kegiatan guru ceramah di kelas harus dikurangi digantikan dengan aktivitas positif, termasuk mengikuti madrasah diniyah, bagi siswa muslim. Karena itu pula, justru dengan semakin banyak waktu siswa belajar, maka madrasah diniyah dapat diintegrasikan dengan pembentukan karakter.
Menurut Mendikbud Muhadjir, madrasah diniyah justru diuntungkan karena akan tumbuh dijadikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat bersinergi dengan sekolah dalam menguatkan nilai karakter religius.
Penerapan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah akan dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan kapasitas sekolah dan potensi kekhasan di tiap daerah. [min]