Inspirasicendekia.com – Tahun 2019 mendatang, bangsa Indonesia bakal mengalami tahun politik. Rakyat dan bangsa Indonesia tentunya akan dihadapkan pada pilihan dalam pemilu tahun itu. Memilih pemimpin atau penguasa?
Menjelang tahun politik, isu apapun menjadi menarik perhatian pengamat ataupun publik. Tak hanya soal ekonomi dan hukum. Tak terkecuali, sentimen agama tidak jarang sengaja ditarik dalam gonjang ganjing perpolitikan nasional.
Khalayak dan masyarakat awam, menjadi disibukkan terimbas kontestasi politik dalam konteks pergantian kepemimpinan dalam pemilu. Mereka tidak hanya terkaget-kaget, namun juga akhirnya ikut-ikutan latah mendukung, bahkan menghujat, pilihan politik yang memaksakan dalil-dalil agama untuk pembenaran atas pilihan tersebut.
Agus Mustofa, dalam bukunya ‘Memilih Pemimpin’ menghadirkan pemikiran bahwa pilihan politik tidaklah sekadar memilih. Dalam buku serial ke-44 Diskusi Tasawuf Modern ini, penulis banyak memberikan pencerahan apa yang sejatinya harus dipilih saat pemilu ataupun pilkada. Diterbitkan tahun 2017 silam, namun buku ini masih relevan untuk dijadikan bahan kajian.
Penulis memulai kajiannya dengan pembahasan kontroversi awal terkait tafsir memilih pemimpin (hal. 48-65). Bagaimana pergantian kepemimpinan Islam pasca wafatnya Rasul hingga daulah Islamiyah masa Ummar ibn Khattab dibahas singkat di bagian awal buku ini. Mekanisme pergantian pemimpin yang berubah-ubah dan tentu saja tidak mengalami perkembangan.
Penulis banyak menyinggung perbedaan pemimpin dan penguasa, umara dan ulil amri. Termasuk, imamah, ummat dan khalifah. Peran ulama sangat kental dan kuat saat jaman Sahabat. Namun ada batasan jelas: ulama lebih banyak mengurusi misi kenabian, sementara umara adalah pelayan ummat terkait urusan-urusan muammalat.
Bagaimana demokrasi dan mekanisme pemilihan di Indonesia? Buku ‘Memilih Pemimpin’ ini tidak terjebak mengupas dan menilai benar atau salah, tepat atau tidaknya, untuk diterapkan. Lagi-lagi, buku ini lebih banyak menjelentrehkan seperti apa pemimpin ideal menurut Islam.
Karena itu pula, penulis banyak mencantumkan ayat-ayat dalam berbagai Al quran untuk penguat penafsiran terhadap sosok kepemimpinan ideal tersebut. Tetapi, untuk bahasan terkait sistem dan mekanisme pemilihan seorang pemimpin sendiri tidak terlalu dalam di buku. Maklum saja, penulis bukanlah pengamat atau pemerhati politik, namun lebih dikenal sebagai cendekiawan dengan pendekatan tasawufnya.
Hanya, dalam bagian akhir buku ‘Memilih Pemimpin’ ini, penulis mengajak pembaca untuk realistis: bahwa kepemimpinan terkait dual, yakni sistemik dan personal (hal. 170). Pendekatan personal dengan melihat bagaimana kepribadian (figur) disebut lebih dominan mempengaruhi sebuah kepemimpinan. Menghasilkan kepemimpinan yang baik, berarti memastikan terlebih dulu kualitas sumberdaya calon pemimpin.
Nah, berkaca pada kepemimpinan jaman Rasul SAW hingga pengalaman kepemimpinan dan pemerintahan di berbagai negara, penulis membuat presumsi bahwa figur personal pemimpin begitu menentukan. Dan, kehebatan para pemimpin sejatinya bermula dari kehebatan sebuah bangsa. Pemimpin hebat terlahir dari bangsa hebat pula.
Sebagai dalil penguat, penulis menyajikan kabar dari Alquran betapa banyak umat terdahulu yang akhirnya punah dikaranekan buruknya karakter mereka (hal.192). Karakter bangsa yang seperti apa yang bakal menyelamatkan, bahkan memajukan bangsa dan negara?
Diantaranya, bangsa yang cinta damai, cinta keadilan, dan keadilan yang ditegakkan dengan kebenaran, taat hukum, saling menghargai, menjaga persatuan, mar ma’ruf nahi mungkar serta keteladanan.
Pada bagian paling akhir buku ini, penulis kembali menegaskan, memilih dan melahirkan pemimpin harus dilakukan dengan terlebih mendidik dan menyadarkan bangsa. Sebagai negara besar, Indonesia menyimpan potensi konflik besar akibat sistem perpolitikan yang ada.
Sistem multipartai, jargon politik dengan simbol-simbol agama, politik transaksional, black campaign dan hoax bermuatan SARA menjadi potensi ancaman tersendiri. Tentunya, bangsa Indonesia sendiri harus dicerdaskan, disadarkan, dan dijauhkan dari semua itu.
Dari berbagai contoh kasus yang ditulis dalam buku setebal 240 halaman ini, kepemimpinan dan sistem pemerintahan Islam seakan menjadi pilihan terbaik. Tetapi, banyaknya pendekatan dalil ayat-ayat bisa jadi terlalu sentimentil dan inklusif manakala buku ini dibaca pembaca umum dengan latar belakang berbeda-beda. Meski begitu, penulis tetap mencoba mengajak berpikir realistis bahwa memilih seorang pemimpin harus tetap kritis (tabayun), rasional dan cerdas. (*)
Peresensi: Khoirul Amin (Rumah Baca Sanggar Wacana)
Judul Buku: Memilih Pemimpin
Serial ke-44 Diskusi Tasawuf Modern
Penulis: Agus Mustofa
Penerbit: Padma Press (ISBN)
240 halaman.