Eyang Djugo atau Mbah Kyai Zakaria II adalah pejuang yang dekat dengan Pangeran Diponegoro semasa menumpas penjajah di era abad ke-19. Namun saat tahun 1830an, siasat pasukan Kompeni Belanda berhasil memecah belah, sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Makasar sedangkan Eyang Djugo mengasingkan diri kewilayah Djugo dan Gunung Kawi.
Nama asli Eyang Djugo atau Kyai Zakaria II adalah Raden Mas Soeryo Koesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjoputera dari Kyai Zakaria I. Kyai Zakaria I adalah putera dari Bandono Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro di lingkungan Keraton Kartasura Yogyakarta. Namun kebangsawanan Kyai Zakaria II sengaja disembunyikandan berganti nama ala pribumi karena untuk menghindari kejaran penjajah.
Nama Djugo sendiri muncul ketika Kyai Zakaria II sampai di daerah Kesamben, Kabupaten Blitar. Saat itu Kyai Zakaria II ditanya oleh masyarakat setempat terkait namany dan beliau menjawab: ‘nama Saya Sajugo’. Sejak itulah Kyai Zakaria II yang dikenal dengan Eyang Djugo menetap di tempat itu dan ‘babat alas’ tanah yang dulunya adalah hutan belantara dan tempat pengungsian dari kejamnya penjajahan kala itu. Menurut cerita masyarakat sekitar, tanah Sanggrahan Djugo Kesamben dikenal dengan tanah yang suburdan terdapat sumbermata air yang melimpah.
Setelah tidak lagi memerangi penjajah dengan mengangkat senjata, Eyang Djugo mengubah perjuangan melalui pendidikan.Beliau berdakwah agama Islam dan mengajarkanajaran moral Kejawen, bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan dan berbagaiketerampilan lain yang bermanfaat untuk masyarakat.
Kearifan yang dimilikinya membuat banyak orang datang berkonsultasi kepada Eyang Djugo sehingga beliau membuat sebua Padepokan. Di Padepokantersebut, Eyang Djugo melakukan pengabdiannya kepada masyarakat untuk memajukan desa setempat bersama Raden Mas Imam Sujono yang kemudian dijadikannya anak angka Eyang Djugo. Menurut juru kunci ke-4 Padepokan Eyang Djugo, Suharto, adalagi yang dijadikannya anak angkatya itu Mbah Tasiman. Berawal dari sini Padepokan tersebut menjadi tempat pencantrikan atau pesantrian dan yang menjadi Abdi Kinasihnya adalah Mbah Daud.
Setelah menetap lama di Desa Sanggrahan Djugo, Eyang Djugo memiliki keinginan untuk membangun Padepokan yang nanti akan menjadi makamnya kala meninggal dunia. Saat itu Eyang Djugo mengajak Raden Mas Imam Sujono untuk membangun, dandi pilihlah Gunung Kawi sebagai tempatnya. Pilihan itu juga sangat beralasan karena Eyang Djugo yang juga ahlipertaniandan melihatpotensiluarbiasa di tanahGunung Kawi.
Tanggal 22 Januari 1871 EyangDjugoatauKyaiZakaria II meninggaldunia. Hari itubertepatandengantanggalsatuSuro yang diperingatisebagaihari Haul Eyang Djugo. Di hariitulah, setiaptahunnyakuranglebihsekitar 2.000 orang datang ke Padepokan ikut mengenang. Padepokan juga mempersilahkansiapapununtukdatangmenikmatisuguhan di dalamnya. Tradisi itu berjalan sampai sekarang dan menandakan begitu dermawannya Eyang Djugo.
Sesuai dengan wasiatnya yang ingin dimakamkan di Gunung Kawi, jenazahnya pun dibawa iring-iringan dari Desa Sanggrahan Djugo menuju Desa Wonosari Gunung Kawi. Hal itulah yang sekarang dikenal dengan tradisi Napak Tilas Satu Suro. (ncp)