Sosok KH Achmad Mustofa Bisri, kiyai yang sekaligus cendekiawan muslim dan kental dengan pemikiran seni-budaya telah memberi warna baru pada kiprah dan sosok ulama Indonesia. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai ambisius. Gus Mus juga sosok kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat, karena tidak semata menguasai prinsip-prinsip agama. Ya, Gus Mus adalah seorang cendekiawan muslim, yang juga juga budayawan. Ia berdakwah lewat budaya, menjadi kritikus melalui sastra.
Sehari-harinya, KH Achmad Mustofa Bisri adalah pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah. Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, Gus Mus juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanya lah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap ‘budaya dan kebiasaan’ yang berkembang dalam masyarakat.
Tahun 2003 misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul “Berdzikir Bersama Inul”. Begitulah cara Gus Mus mendorong “perbaikan” budaya yang berkembang saat itu.
Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar.
Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, yang digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, pun mengapresiasinya. Sang kurator menganggap kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi.
Dunia puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuhnya adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Sejak itu, Mustofa banyak puisi karyanya yang tersimpan di rak buku.
Adalah Gus Dur pula yang ‘mengembalikan’ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada 1987, saat perhelatan acara “Malam Palestina” oleh Dewan Kesenian Jakarta, ditampilkan pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Gus Mus, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, kebagian membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.
Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Kyai berkacamata minus ini pun telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990).
Penyair senior Sutardji Calzoum menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise.
Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).
Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, “Doaku untuk Indonesia” dan “Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia”. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. [ncp]
Ulama Bersahaja yang Hanya Tempati Rumah Wakaf
Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, Gus Mus besar dari lingkungan keluarga santri. Kakeknya, adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik.
Ia dididik orangtuanya dengan keras, apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun, ia keluar lalu memasuki Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampir tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.
KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya, Almas.
Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sekitar 115 kilometer arah timur Kota Semarang.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.
Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.
Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi dan juga kental dengan perjalanan kehidupan sosial dan politik, seperti. Tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.
Namun, kesederhanaannya membuat Gus Mus tidak betah berlama-lama di habitat politik. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PBNU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Namun justru bersikukuh menolak.
Langkah menarik diri dari jabatan politik tak sekali itu. Gus Mus pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah (1987-1992) mewakili PPP, sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU (1994-1999 dan 1999-2004). Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik, apalagi terlibat aktif di dalamnya. Dalam Pileg 2004, namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, namun ia memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu digelar.
Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah,” kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.
Hal tersebut terulang ketika Gus Mus menolak dicalonkan sebagai Rois Aam dalam Muktamar ke-33 NU di Kota Jombang awal Agustus 2015 lalu. Banyaknya Kiyai-Kiyai NU yang tetap memilihnya tak menyurutkan niat Gus Mus untuk menolak menjadi Rois Aam NU. [ncp/min]