Dampak Masif UKG, Guru Seperti Tersadar dari Tidurnya

Dampak Masif UKG, Guru Seperti Tersadar dari Tidurnya

Beberapa pekan terakhir, Ujian Kompetensi Guru (UKG) menjadi istilah baru yang lagi “ngetren” di dunia pendidikan. UKG 2015 lebih menggema daripada sebelumnya, karena diikuti isu berdampak terhadap pencairan TPP.

Dalam pandangan Soleh Mawardi MPd, ketua koordinator MGMP SMP Kabupaten Malang, diakui atau tidak, fenomena UKG telah berhasil membangunkan guru dari tidurnya. Menurutnya, dampak positif dari UKG bisa dilihat dari fenomena guru-guru mulai membuka diri untuk mencari kisi-kisi, mencari contoh-contoh soal UKG, bahkan jika perlu mencari “bocoran” soal UKG. Ada pula yang aktif berkomunikasi dengan teman sejawat untuk fotocopy, ada pula yang aktif browsing di internet untuk mencari bahan-bahan UKG.

“Meski keaktifan ini sifatnya sesaat, tetapi setidaknya guru-guru mulai mengenal bahwa sumber informasi sekarang sudah semakin mudah di dapat,” kata Soleh, Kamis (19/11/2015) lalu.

Ditambahkan Soleh, kegiatan kolektif guru baik resmi maupun tidak mulai tumbuh subur. Forum MGMP/KKG yang bertema bedah kisi-kisi UKG menjadi ramai dihadiri peserta, dibanding sebelumnya yang kerap merupakan kegiatan rutin membahas pembelajaran, penilaian atau penelitian tindakan kelas.

Soleh tidak memungkiri, bahwa pasca UKG banyak guru-guru yang kecewa dengan perolehannya, dan membuat mereka sadar bahwa masih harus terus belajar. Guru-guru jadi malu sendiri, kalau selama ini selalu memotivasi anak didik untuk belajar dan berprestasi tapi, kenyataan dirinya masih jauh dari berhasil. Guru-guru juga merasakan beban mental karena tuntutan KKM 55 untuk UKG, menyadari adanya beban moril karena siswa saja dituntut KKM 75, juga nilai UN yang harus baik.

Beradasarkan analisisnya, materi yang diujikan di UKG disusun oleh pakar-pakar pendidikan yang kurang mengenal lapangan. Bisa jadi, para penyusun soal tidak sadar bahwa banyak guru yang sudah tidak bersentuhan lagi dengan teori-teori pedagogik, teori psikologi, bahkan termasuk dengan keluasan materi yang diampunya. Sebabnya, hampir setiap hari yang dihadapi hanya permasalahan pembelajaran di kelas, target pencapaian KKM dan sukses UN, sehingga soal materi yang lebih rumit jarang dihadapi lagi.

Soleh memang tidak sepakat jika hasil UKG dijadikan alat untuk memvonis kualitas guru. Tapi, lebih pas jika UKG untuk membangunkan guru dari ‘tidur’ bolehlah. Sebab, katanya, nyatanya masih ditemukan soal yang salah sehingga bisa berdampak pada belum bisa sepenuhnya dilakukan pengukuran dengan baik. Tidak hanya itu, lanjutnya, banyak pula soal yang subyektif, berdasar pola pikir penyusun soal. Masih perlu juga disamakan persepsi penyusun soal dan guru yang akan diuji.

Terlepas dari masih adanya kelemahan materi soal UKG tersebut, para guru memang tetap harus mensikapi UKG dan hasilnya secara positif.

“Pasca UKG banyak yang terbuka wawasannya, bahwa perlu terus belajar dan mencari litetatur. Kenyataan paling disadari, mereka yang sering mengikuti kegiatan kolektif guru secara umum kompetensinya lebih baik dari guru-guru yang hanya menyibukkan diri di unit kerjanya masing masing,” imbuhnya.

Kesimpulannya, bahwa fungsi UKG yang diibaratkan “cermin” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ternyata berfungsi efektif. Di awal mungkin banyak permasalahan, muncul protes dengan kelemahan sistem, kekhawatiran merendahkan derajat guru, atau ketakutan yang berlebihan. Namun, jika UKG sudah berjalan periodik dan ada penyempurnaan, dimungkinkan ada perubahan tingkah laku yang berdampak peningkatan kualitas pembelajaran.

Ia berharap, ke depan pemerintah menyusun buku paket materi kompetensi guru kemudian melakukan uji kompetensi, dan setelah tenggang waktu tertentu, dipastikan hasil UKG akan lebih baik. (min)

Sebarkan berita:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *